Sabtu, 20 Agustus 2011

Salafisme Sejati Muhammad Abduh (Versi Lengkap*)

Oleh:Akhmad SahalWakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
http://www.facebook.com/notes/akhmad-sahal/salafisme-sejati-muhammad-abduh-versi-lengkap/221391837909231
 Salafisme pada awalnya merupakan gerakan mempaharui Islam, tapi dalam perkembangannya kini justru berbalik menjadi gerakan yang melawaskannya. Pada akhir abad 19 seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, menegaskan perlunya reformasi Islam dengan cara meneladani generasi muslim awal yang saleh (al-salaf al-shalilh). Karena ia percaya bahwa Islam salafi pada hakekaktnya adalah agama yang rasional. Tapi dalam beberapa dekade terakhir, salafisme tiba-tiba menjadi identik dengan Wahabisme, aliran puritanisme Islam yang lahir di Najd (Saudi) yang justru membredel peran akal dalam agama.

Sementara salafisme pertama menyerukan kembali ke periode perdana Islam yang murni dengan tujuan mem-“bumi”-kannya dalam konteks masa kini agar kaum muslim tidak gagap berhadapan dengan modernitas, salafisme kedua menyatakan kembali ke Islam masa salaf dengan cara me-“mumi”-kannya, seakan-akan masa depan umat adalah masa lalunya.

Agenda salafisme Abduh sejatinya bisa ditelusuri jejak awalnya pada pemikiran gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, khususnya dalam polemiknya dengan Ernest Renan tentang Islam. Dalam satu ceramahnya di Sorbonne Paris pada 1883, filosof Perancis tersebut mencap Islam sebagai agama yang memusuhi sains dan pikiran modern, dan karena itu menjadi penghalang bagi kemajuan para pemeluknya.

Membantah Renan, Afghani menegaskan bahwa gejala yang disebut Renan sebagai antipati Islam terhadap sains tidak lain hanyalah praktek keislaman yang telah kehilangan otentisitasnya. Inilah yang membawa umat ke dalam keterbelakangan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka mudah dimangsa imperialisme Barat. Afghani kemudian menlantunkan sikap anti imperialisme dengan bersandar pada Islam otentik, yakni Islam salafi yang memberi peran sentral pada akal dan menempatkan umat sebagai agensi yang aktif dalam mengubah nasibnya sendiri.

Seruan Afghani rupanya bergema kuat pada diri Muhammad Abduh, yang lalu memperjuangkan agenda pembaharuan Islam secara lebih sistematis. Baginya, pangkal penyebab keterbelakangan umat Islam selama berabad-abad adalah begitu berakarnya situasi jumud (beku) dalam benak kolektif mereka akibat merajalelanya taqlid, percaya begitu saja kepada otoritas agama dalam bentuk apapun tanpa sikap kritis.
Patut dicatat, taklid di sini tidak terbatas pada artinya yang sempit, yakni keterikatan secara dogmatis pada salah satu empat mazhab. Taklid yang dikecam Abduh lebih luas dari itu, yakni sikap membebek saja kepada tradisi, aturan dan pendapat ulama masa silam atau sekarang tanpa sikap kritis. Begitu kerasnya kecamannya terhadap taklid sampai ia menghubungkannya dengan tabiat orang-orang kafir yang ketika diseru untuk mengikuti kitab Allah lantas menjawab, “kami ikuti apa-apa yang kami dapat pada orang-orang tua kami.”

Hantaman Abduh kepada taklid ini erat kaitannya dengan keyakinannya bahwa Islam dalam bentuknya yang otentik, yakni tatkala doktrin agama ini belum dipergemuk dengan pelbagai ornamen dan pernik-pernik yang menempel padanya karena pengaruh perbedaan sekte teologi dan mazhab fiqh, niscaya sejalan dengan akal. Dalam Risalah al-Tauhid ia menulis bahwa baru dalam Islamlah: “akal dan agama bersaudara buat pertamakalinya dalam kitab suci.”

Inilah pengertian kembali ke al-salaf al-shalih menurut Abduh, yakni kembali ke generasi muslim awal sebelum perpecahan umat ke dalam sekte dan aliran yang beragam dan saling bertentangan. Dan Islam salafi baginya adalah Islam yag rasional.

Karena itulah Abduh percaya bahwa antara wahyu dan akal pada hakekatnya tidak mungkin ada pertentangan. Lantas bagaimana kalau keduanya selintas saling bertentangan? “Akal,” kata Abduh dalam Risalah, “mesti meyakini bahwa yang dimaksudkan bukanlah arti yang harfiah.” Di tempat lain ia berujar: “dalam kasus di mana terjadi konflik antara akal dan naql (teks Qur’an dan sunnah), maka yang dimenangkan adalah konklusi akal. Dan dalam menyikapi dalil naqli yang seperti ini terdapat dua pilihan. Pertama: membiarkannya seperti apa adanya sambil mengakui ketidakmampuan kita untuk memahaminya dan memasrahkan perkaranya pada Allah. Pilihan kedua: menafsirkan teks tersebut, dengan berpedoman pada kaidah bahasa, sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan kesimpulan akal” (Al-Islam wa Al-Nashraniyyah).

Dalam banyak kasus, Abduh tampaknya lebih condong pada pilihan kedua ini tercermin dalam fatwa-fatwanya ketika ia menjadi mufti agung di Mesir, seperti fatwa anti poligami. Menurutnya, poligami sudah membudaya sebelum Islam. Dan aturan Islam tentang poligami pada hakekatnya lebih bersifat membatasi ketimbang mengumbarnya. Bukankah ayat yang membolehkan beristri sampai empat mengandung syarat keadilan yang mesti dipenuhi suami. Padahal ayat lain menegaskan bahwa para suami tidak bakal bisa berbuat adil, meski mereka berusaha keras untuk itu. Situasi semacam ini, ditambah dengan observasi Abduh sendiri tentang banyaknya kasus penyalahgunaan poligami oleh kaum lelaki pada masanya, lantas mendorongnya untuk berfatwa melarang poligami. Alasannya demi menjaga mashlahah (kepentingan publik).
Penekanan Abduh pada peran sentral akal dalam Islam ini tak ayal membuatnya menuai tuduhan sesat, dianggap sebagai pengikut sekte mu’tazilah, dst. Tapi sebenarnya salafisme Abduh tersebut terbit dari kemandiriannya dalam ber-ijtihad. Suatu kemandirian sikap yang dalam penilaian Profesor Harun Nasution dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) bahkan lebih rasionalis ketimbang mu’tazilah.

Penggambaran Muhammad Abduh yang menampilkan salafisme sebagai Islam rasional barangkali terasa mengejutkan, mengingat kesan umum tentang salafisme sekarang ini justru ekstrim kebalikannya. Salafisme kini sering dinisbatkan dengan Wahabisme, model Islam yang dipraktekkan di Saudi Arabia. Faham yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada akhir abad 18 ini mewajibkan kaum muslim untuk kembali kepada Qur’an dan hadits secara harfiah dan tidak memberi tempat pada akal.

Sebenarnya baru sejak dekade 70-an saja kaum Wahabi menyebut diri “salafi.”Pada awalnya, seperti dipaparkan Hamid Algar dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), kalangan Wahabi menamakan diri sebagai muwahhidun. Sebutan ini mengacu pada konsepsi mereka yang “radikal” tentang tauhid. Tauhid yang benar bagi mereka bukan hanya mengakui Allah sebagai Tuhan yang esa, melainkan juga kesediaan untuk menghambakan diri hanya kepadaNya.

Ketika Saudi Arabia, berkat berkah minyak, tiba-tiba menjadi negara petrodolar, terbukalah kesempatan bagi kaum Wahabi untuk mengekspor fahamnya ke seantero jagat muslim. Tapi para pengikut aliran ahlussunnah wal jama’ah di luar Saudi banyak yang menampiknya. Ini mendorong kaum Wahabi untuk mempermak citra mereka, di antaranya dengan melabeli diri sebagai Islam salafi. Mereka mengklaim sebagai pengikut Ibn Taimiyah, yang nota bene penganut mazhab Hanbali. Dari sinilah pengidentikan antara salafisme dengan Wahabisme bermula.

Secara selintas, memang terdapat kemiripan antara salafisme Wahabi dan salafisme Abduh. Keduanya sama-sama menjadikan Islam yang diamalkan generasi salaf yang salih sebagai model teladan, sama-sama merujuk langsung ke Qur’an dan sunnah ketimbang bersandar pada otoritas mazhab dan pendapat ulama, serta menekankan kemurnian tauhid. Tapi kemiripan tersebut hanya berhenti di situ saja. Itupun hanya sebatas pada kulit, karena sesungguhnya jurang pembeda antara keduanya nyaris tak terjembatani.
Ambillah contoh soal perbedaan antara Abduh dan kaum Wahabi perihal mazhab. Abduh menentang keterikatan secara ketat pada satu mazhab karena hal itu ia anggap identik dengan sikap taklid. Baginya, kaum muslim mesti punya kebebasan memilih pendapat yang secara argumen paling kuat dari mazhab-mazhab yang ada, dan berani melakukan ijtihad sendiri jika diperlukan. Artinya, yang ia tolak dari mazhab adalah tendensinya untuk menumpulkan sikap kritis dan rasional.

Coba bandingkan dengan antipati kaum Wahabi terhadap mazhab. Di mata mereka, bermazhab sama dengan berpegang pada pendapat para ulama semata, yang nota bene melibatkan peran akal, dan bukan pada teks Qur’an dan hadits secara langsung.

Jadi, Abduh menolak mazhab karena dianggap mengurangi peran akal, sedangkan kaum Wahabi menolaknya semata-mata karena curiga dengan peran akal yang berlebihan di dalamnya.

Kontras yang lain juga bisa kita temukan dalam pandangan kedua kubu tentang tauhid. Bagi kaum Wahabi, tauhid berarti menghamba hanya terhadap Allah secara mutlak. Setiap perilaku yang mencerminkan ketundukan terhadap siapapun atau apapun selain Allah dianggap sama dengan syirk. Masalahnya, mereka mendefinisikan syirk secara sempit dan kaku, sampai-sampai hormat kepada bendera pun dikategorikan syirik. Tidak heran kalau kaum Wahabi lantas begitu mudah menyebut sesat pandangan lain di luar fahamnya. Anehnya, yang jadi ukuran adalah diri mereka sendiri, seperti diungkap oleh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung sang pendiri Wahabisme: Wa taj'alun mizan kufr al-nas mukhalafatakum wa mizan al-Islam muwafaqatakum" (kalian jadikan penentangan orang thd pendapat kalian sebagai ukuran kekafiran mereka dan persetujuannya thd pendapat kalian sebagai ukuran ke-Islam-an mereka).

Bandingkan dengan konsepsi Abduh tentang tauhid. Ia menulis: “Dalam hal iman kepada Allah, Islam bergantung hanya pada pembuktian rasional, bukan pada kejadian supernaturanl atau suara dari langit…Kaum Muslim umumnya sepakat bahwa urutan iman kepada Allah mendahului iman kepada Rasul. Karena itu, tidak tepat kalau dikatakan dasar iman kepada Allah mengacu pada risalah utusanNya. Justru sebaliknya, seseorang mesti beriman dulu pada Allah sebelum beriman kepada kenabian utusanNya.” (Al Islam wa al-Nashraniyyah). Kutipan barusan dengan jelas menunjukkan bahwa bagi Abduh, fundasi iman pada keesaan Allah justru bukan pertama-tama bersumber dari wahyu, melainkan dari hasil penalaran.

Pandangan semacam ini bertolak dari keyakinan Abduh bahwa kesempurnaan ajaran Islam bertaut erat dengan karakternya yang rasional. Dengan menrik ia menganalogikan perkembangan agama dengan perkembangan kemanusiaan dari fase kanak-kanak menjadi dewasa. Pada fase kanak-kanak, katanya dalam Risalah al-Tauhd, Tuhan menurunkan agama dalam bentuk perintah dan larangan, seperti halnya orang tua memperlakukan anaknya. Maka muncullah agama Yahudi. Ketika kemanusiaan menginjak remaja, agama baru yang turun memakai pendekatan kasih sayang untuk menyentuh hatinya. Maka turunlah agama Kristen. Dan tatkala kemanusiaan tumbuh dewasa, agama baru yang cocok dengan fase itu adalah agama yang berbicara kepadanya bukan hanya dengan perintah dan larangan, juga bukan hanya dengan kasih, melainkan terutama dengan akal. Dan itulah Islam.

Dengan kata lain, sementara salafisme Wahabi melancarkan takfir (pengkafiran), salafisme Abduh menggalakkan tafkir (pengaktifan pikiran).

Adanya pertentangan dua salafisme tersebut lantas membuat kita bertanya: apa hakekat islam salafi? Kaum Wahabi mengartikannya sebagai sebagai laku ngeblat generasi salaf, dengan menjadikan mereka sebagai model untuk dicontoh secara harfiah. Apapun yang berbeda dari pakem ngeblat mereka langsung dicap bid’ah. Di sini proses sejarah umat dilihat sebagai proses penyimpangan, lantaran menjauhkan Islam dari kemurniannya. Karena itu, Islam mesti dimurnikan kembali setiap saat. Artinya, bagi kaum Wahabi, masa depan umat Islam adalah masa lalu mereka.

Cara ngeblat seperti itu di mata Abduh tentu akan dikategorkan sebagai taklid, sesuatu yang justru bertentangan dengan tujuan utama kembali ke generasi salaf. Sebab menurutnya, meneladani salaf bertujuan untuk menemukan élan progresif Islam yang untuk waktu yang lama terkubur oleh kejumudan para pemeluknya.

Islam salafi yang rasional dari Abduh inilah yang menurut saya perlu lebih keras disuarakan sekarang. Itu kalau kaum muslim memang betul-betul hendak merealisasikan semboyan bahwa Islam adalah agama yang cocok untuk segala waktu dan tempat (sholihun li kulli zamanin wa makanin).

*Tulisan ini dimuat secara bersambung di Koran Tempo, 18-20/8/2011.

ISLAM DAN KEMERDEKAAN (KEBEBASAN)

Oleh: Husein Muhammad
http://www.facebook.com/notes/husein-muhammad/islam-dan-kemerdekaan/10150265751364811


“Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...” Penggalan kalimat proklamasi ini diucapkan Soekarno, di dampingi Hatta, di hadapan masyarakat dunia, tanggal 17 Agustus 1945. Meski singkat, tetapi kalimat ini memiliki makna yang sangat luar biasa bagi rakyat Indonesia. Begitu selesai dibacakan, pekik kemerdekaan : Merdeka ! Merdeka!, terdengar membahana di mana-mana dengan ekspresi kegembiraan yang meluap-luap, berhamburan di pelosok-pelosok seluruh negeri Indonesia. Tetabuhan berdentam-dentam. Dunia kemanusiaan menyambut dengan sukacita. Hari bersejarah itu kemudian dirayakan dengan situasi kegembiraan yang sama setiap tahun oleh seluruh rakyat Indonesia sebaggai hari Lahirnya Negara Indonesia. Bendera merah putih berkibar-kibar dengan gagah di setiap rumah dan setiap tempat diiringi nyanyian kegembiraan dan kegagahan yang mengharukan.   

Makna Kemerdekaan.

Kemerdekaan dalam bahasa Arab disebut „al-Istiqlal“. Hari Kemerdekaan disebut Id al-Istiqlal. Ia ditafsirkan sebagai  :
التحرر والخلاص من القيد والسيطرة الاجنبية

”al-Taharrur wa al-Khalash min ayy Qaydin wa Saytharah Ajnabiyyah” (bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain). Atau

القدرة على تنفيذ مع عدم القسر والعنف من الخارج

“al-Qudrah ‘ala al-Tanfidz ma’a In‘idam Kulli Qasr wa ‘Unf min al-Kharij” (Kemampuan melaktualisasikan diri tanpa adanya segala bentuk pemaksaan dan kekerasan dari luar dirinya).
 Dengan kata lain kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk penindasan bangsa lain.  Kata lain untuk makna ini adalah “Al-Hurriyyah“. Kata ini biasa diterjemahkan sebagai kebebasan.   Dari kata ini terbentuk kata al-Tahrir  yang berarti pembebasan. Tahrir al-Mar‘ah berarti pembebasan perempuan. Orang yang bebas/merdeka disebut al-hurr lawan dari al-“abd“ (budak). Penggunaan kata kebebasan dalam konteks kaum muslimin hari ini tampaknya kurang menyenangkan.  Sebagian mereka memandangnya dengan sinis. Ini boleh jadi karena kebebasan menjadi milik khas Barat. Padahal al-Qur‘an selalu menyebutkan kata ini, dan bukan kata al-Istiqlal. Dalam teks-teks klasik al-Hurriyyah, kebebasan, amatlah populer dan terpuji.

Akan tetapi makna-makna sebagaimana disebutkan di atas masih amatlah sederhana dan formalistic, masih semi merdeka (Syibh al-Hurriyyah/Istiqlal). Kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17/08/45 barulah gerbang dan pintu yang terbuka.

Kemerdekaan atau Kebebasan dalam maknanya yang sejati dan luas adalah situasi batin yang terlepas dari segala  rasa yang menghimpit, yang menekan dan yang menderitakan jiwa, pikiran dan gerak manusia baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun  dari luar. Kemerdekaan/Kebebasan  adalah suasana hati yang damai, yang tenang terbukanya kehendak-kehendak dan harapan-harapan yang manis manusia. Kemerdekaan adalah suasana di mana semua potensi kemanusiaan : energi tubuh, akal-intelek, budi, jiwa dan hati,  memperoleh tempat dan jalan menuju harapan-harapannya.

Kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan yang melekat dalam diri setiap manusia, apapun latarbelakang sosial, budaya, politik, jenis kelamin, agama, keyakinan, warna kulit, kebangsaannya dan seterusnya. Kemerdekaan adalah essensi kemanusiaan itu sendiri. Karena itu ia tidak dapat dan tidak boleh dirampas atau dicabut oleh siapapun. Ia adalah anugerah Tuhan kepada manusia, makhluk-Nya yang paling dihormati. Oleh sebab itu, segala bentuk kebudayaan, peradaban dan setiap sistem kehidupan yang menghalangi, membatasi, yang memenjarakan, dan memperbudak manusia harus dihapuskan dan dilenyapkan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan hakikat manusia.

Islam dan Kemerdekaan

Manusia menurut Islam adalah makhluk yang merdeka/bebas sejak ia ada. Ini di satu sisi. Pada sisi lain ia adalah hamba-Nya, karena dia diciptakan dan Dialah Penciptanya. Manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika berada di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama manusia disebut Abd Allah. Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Nabi Muhammad dan para Nabi yang lain adalah para utusan Tuhan. Mereka ditugaskan membawa misi Tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain. Al-Qur’an menegaskan: “(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka”. (Q.S. Ibrahim, [14:1].

Mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan di sini bermakna, kekafiran, kezaliman, kesesatan dan kebodohan. Cahaya adalah keimanan kepada Tuhan, keadilan, jalan lurus dan Ilmu pengetahuan. Ini semjua merupakan ajaran paling inti dari Islam dan setiap agama yang dibawa para nabi, utusan Tuhan dan para pembawa misi kemanusian yang lain. Karena ia merupakan refleksi dan aksi dari pernyataan Ke-Maha-Esa-an Tuhan.

Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan oleh karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. Keyakinan Islam ini dipraktikkan Nabi melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan melalui segala cara yang mungkin. Diinspirasi oleh tindakan Nabi ini, Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain. Ketika Abdullah, anak Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan: “sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka“. Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu. 

Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah. Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang yang tak beruntung tidak memperoleh haknya. Sebaliknya orang dengan status sosial beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terkhir ini pernah disampaikan Nabi: “Andaikata Fatimah, anakku, mencuri, aku pasti akan menghukumnya”.    

Kemerdekaan adalah Bertindak Etis

Kemerdekaan manusia meliputi hak untuk menjadi ada dan dihargai, beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikannya, dan beraktualisasi  diri, berproduksi dan bereproduksi, hak untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan, kemerdekaan untuk tidak dirampas, diselewengkan, disalahgunakan dan dihambur-hamburkan, baik hak miliknya sendiri maupun hak miliki bersama. Manusia juga tidak boleh diperbudak oleh aturan dan kekuasaan apapun. Sebaliknya aturan dan kekuasaan diperlukan sebagai cara manusia memperoleh rasa aman, damai, keadilan dan kesejahteraan. Semua hak yang disebutkan ini adalah hak-hak fundamental manusia dan bersifat universal.

Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa berbagai kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin. Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan. Atas dasar inilah maka tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Karena yang lain juga punya kehendak yang sama. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan dan perendahan martabat adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri. Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab bagai dua sisi mata uang. Maka setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan atas martabatnya. Dari sini tampak logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain. Dengan begitu, kemerdekaan adalah berpikir dan bertindak etis. Yakni berpikir dan bertindak untuk memperoleh kebaikan bagi diri dan orang lain dalam sistem atau institusi yang adil. Karena inilah tujuan kehidupan bersama manusia.


Cirebon, 17-8-2011

17 Agustus (Ramadhan)

Republika, Jumat, 19 Agustus 2011 pukul 12:46:00
Oleh Zaim Uchrowi

Angka 66 secara umum tak bermakna apa-apa, kecuali bagi yang suka mengutak-atiknya: ‘66’ sebagai kebalikan angka ‘99’, angka Asmaul Khusna. Selain itu, ini juga menjadi angka khusus bagi aktivis Angkatan ‘66. Tapi, 66 tahun Indonesia merdeka melahirkan momen menarik seperti tahun 1945. Hari kemerdekaan bertemu dengan Ramadhan. Tanggal peringatan proklamasi bahkan bersamaan dengan Nuzulul Quran.

“Tak ada kebetulan di dunia ini”. Para ulama, para pelatih pengembangan diri, meyakini itu. Segala sesuatu di alam semesta ini tak lepas dari kehendak-Nya. Tinggal bagaimana memahami dan memaknai kehendak Tuhan yang tampak seperti kebetulan itu, termasuk kehendak-Nya mempertemukan dua momen penting ini sekarang.

Merdeka. Sebuah kata yang banyak terlupakan, kecuali pada hari-hari seperti pada Agustus sekarang. Padahal, sebenarnya, setiap manusia adalah merdeka. Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Jiwa dan mentalnya bersih belum ternodai apa pun. Dengan jiwa dan mental bersih, mereka akan tumbuh dewasa menjadi pribadi-pribadi utuh. Pribadi-pribadi yang sanggup menaklukkan dunia. Sanggup mewujudkan kebahagiaan bagi diri sendiri juga mewujudkan kesejahteraan bersama.

Namun, sekarang keadaan yang menumbuhkan anak-anak bangsa tidak lagi steril. Lebih tepatnya tidak sehat. Itu yang membuat anak-anak bangsa tidak tumbuh normal. Keadaan membuat anakanak bangsa tidak merdeka. Lingkungan membuat mereka terkendala. Bahkan, dalam bahasa tegas, dapat dikatakan bahwa anak-anak bangsa ini ‘terjajah’. Bukan oleh Belanda, tentu, bukan pula oleh Jepang, namun terjajah keadaan tidak baik produk bangsa sendiri.

Mari tengok setidaknya 30 juta warga miskin negeri subur makmur ini. Jumlah yang dapat kian membengkak karena beranak pinak. Mereka itulah yang paling ‘terjajah’ oleh keadaan. Kalangan yang menengah pun tak bebas dari terjajah. Anak-anak bangsa yang ‘terjajah keadaan’ itu sebagian besarnya akan pasrah menjadi orang kalah dalam kehidupan. Sebagian lain memilih berjudi dalam permainan yang diistilahkan oleh Ronggowarsito pada abad ke-19 sebagai permainan ‘Zaman Edan’.

Merdeka bukan pasrah pada keadaan. Bukan pula larut dalam permainan ‘Zaman Edan’ seperti yang dilakukan Nazaruddin. Merdeka berarti berkesadaran dan berkemampuan mengubah keadaan diri menjadi lebih baik, baik bagi masing-masing pribadi maupun secara agregat bagi masyarakat dan bangsa. Kesadaran dan kemampuan mengubah diri itu perlu kejernihan dan kebersihan hati. Maka, sungguh tepat bila peringatan kemerdekaan sekarang dipertemukan dengan Ramadhan.

Tidak sekadar mempertemukan Agustus dengan Ramadhan, Allah pun mempertemukan tanggal 17 dari dua bulan berbeda itu. Bagi umat Islam Indonesia, tanggal ini tak semata Hari Kemerdekaan 66 tahun silam. Tanggal ini juga menjadi hari turunnya ajaran kebenaran berupa ayat Quran pertama, sekitar 1.400 tahun silam, yakni tahun 611 Masehi. Ada apa di balik fenomena ini?

Tanggal 17 Agustus-Ramadhan ini boleh jadi memang momentum yang diturunkan Allah SWT untuk bangsa ini. Jadilah manusia merdeka! Bersihkan diri dengan cahaya Qurani! Bangunlah menjadi pribadi, masyarakat, dan bangsa yang benar-benar bermartabat, khususnya bagi para politikus, pengendali birokrasi, dan pemegang lain amanah rakyat. Allah bahkan menghadirkan Nazaruddin yang jelas-jelas menyandang nama ‘Mohammad’, untuk menunjukkan betapa bobrok kita sebagai bangsa. Dengan kasus Nazaruddin, keadaan memang sedikit lebih baik. ‘Belanja’ atau ‘bancakan’ proyek lewat kolusi legislatifeksekutif terhenti untuk sementara. Semoga bukan hanya di Ramadhan ini, melainkan seterusnya. Semoga orangorang baik yang terlena oleh nikmatnya ‘bancakan proyek’ juga kembali ke fitrahnya bersamaan dengan menjelangnya Idul Fitri ke depan. Itu yang akan membantu agar cita-cita merdeka 66 tahun lalu dapat terwujud.

Nuzulul Quran dan Keaksaraan Perempuan

Republika, Sabtu, 20 Agustus 2011
Dyvita Febriyanti
Pegiat Literasi, Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember

Tanggal 17 Ramadhan sekitar 14 abad yang lalu, atau tepatnya malam Senin tahun ke-41 dari usia Rasulullah dan 13 tahun sebelum Hijriah, atau bertepatan dengan Juli 610 M, ayat pertama dalam Alquran diturunkan ketika Rasulullah sedang di Gua Hira. Ayat itu berbunyi, "Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS al-Alaq [96]: 1-5).

Momen itulah penanda awal dicanangkannya revolusi sejati bagi seluruh umat manusia dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalahnya. Sebab, kata kunci dari rangkaian ayat-ayat tersebut adalah (mem) baca: imbauan (tepatnya kewajiban) untuk senantiasa belajar dengan cara membaca segala macam peristiwa. Sebuah tuntunan yang kemudian terbukti puluhan abad setelahnya bahwa kemajuan peradaban manusia dapat dicapai dengan progresif jika berhasil menumbuhkan budaya baca tulis.

Tapi dalam mempelajari historiografi Alquran tidak banyak yang tahu bahwa yang pertama kali meyakini kebenaran Alquran justru seorang perempuan, yakni Siti Khadijah al-Qubra, istri Nabi sendiri. Setelah itu baru menyusul para sahabat Nabi.

Sebagai mukjizat yang ditujukan untuk menyinari alam kejahiliahan, Alquran sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Seolah setali dengan pihak pertama yang meyakini Alquran sebagai wahyu Nabi, perempuan adalah kelompok paling diuntungkan dengan turunnya Alquran. Mengapa? Di bawah tuntunan Alquran, Muhammad Rasulullah SAW melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan status perempuan dalam masyarakat Arab jahiliah.

Risalah revolusioner

Seperti diungkapkan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Siti Musdah Mulia, saat itu Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Kemudian Rasul menetapkan hak waris bagi perempuan di saat masyarakat memosisikan mereka hanya sebagai objek atau bagian dari komoditas yang diwariskan.

Rasul juga menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandangnya sebagai hak monopoli orang tua atau wali. Pun Rasul mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam shalat pada saat masyarakat hanya mengenal laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya tiga kali lebih tinggi daripada ayah pada saat masyarakat memandang ibu tak ubahnya mesin produksi. Selanjutnya, Rasul menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami, saat masyarakat memandangnya sebagai pelayan dan objek seksual belaka.

Saat itu, Alquran turun di kawasan yang secara sosiologis, masyarakatnya memiliki konstruksi dan persepsi kebudayaan yang diskriminatif mengenai perempuan. Tatanan yang berlaku di masa itu adalah sistem patriarki: suatu budaya yang dibangun di atas struktur dominasi laki-laki sebagai pusat kuasa. Perempuan, dalam kebudayaan mereka, diposisikan dan diperlakukan sedemikian rendah dan hina. (Asghar Ali Engineer: 1994).

Artinya, Alquran diturunkan sebagai jawaban, bantahan, dan alternatif nilai untuk membangun kembali tata kebudayaan yang adil. Seperti dikatakan Fazlur Rahman, Alquran merupakan respons Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya untuk menanggapi situasi sosial-moral pada masa Nabi. Alquran dan asal usul masyarakat Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosial-historis.

Dengan kata lain, Alquran telah menuntun Rasul mengubah posisi dan status perempuan secara revolusioner, mengubah posisi dan status perempuan dari objek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Artinya, Nabi Muhammad adalah sosok revolusioner dalam segala bidang.

Rasul mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal, dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Keduanya sama-sama makh luk, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fil ardh (pengelola ke hidupan di bumi), dan juga sa ma-sama berpotensi menjadi fasad filardh (perusak di muka bumi).

Perempuan modern

Pertanyaannya, bagaimana posisi dan peran perempuan kini? Apakah masih dalam nuansa yang sama seperti dilukiskan dalam riwayat tersebut atau sudah mengalami perubahan?

Setelah nyaris berjalan 14 abad lamanya, wujud kejahiliahan itu bermetamorfosis pada penindasan perempuan dalam kerangka yang lebih sistemis dan menyentuh level kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Sebagai contoh, dalam peringatan Hari Aksara Internasional, September 2010, terungkap fakta bahwa dari data masyarakat yang terklasifikasi buta aksara usia 15 tahun ke atas sejumlah 10,16 juta, 65% di antaranya adalah perempuan.

Tidak heran jika Simon de Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan pemberdayaan perempuan memerlukan kemandirian di bidang ekonomi, yang artinya wanita perlu terjun ke sektor publik.

Momentum memperingati Nuzulul Quran tahun ini, kita semua layak melakukan introspeksi diri, apakah nilai-nilai Qurani yang begitu ideal dan luhur telah dihayati dan diamalkan dalam kehi dupan sehari-hari?

Secara historis justru kaum perempuanlah (Siti Khadijah) yang pertama meyakini kebenaran Alquran. Akhirnya, semoga paradoks ini mampu menjadi pelecut bagi kaum perempuan untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Selasa, 14 Juni 2011

Apa Itu Nur Muhammad?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah

Dalam ilmu tasawuf, Nur Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nur Muhammad disebut juga hakikat Muhammad. Sering dihubungkan pula dengan beberapa istilah seperti al-qalam al-a'la (pena tertinggi), al-'aql al-awwal (akal utama), amr Allah (urusan Allah), al-ruh, al-malak, al-ruh al-Ilahi, dan al-ruh al-Quddus.

Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secara umum istilah-istilah itu berarti makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah sebabnya Nur Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau al-syajarah al-baidha' karena seluruh makhluk memancar darinya.

Ia bagaikan pohon yang dari padanya muncul berbagai planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir.

Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai person, karena representasi Nur Muhammad dan atau insan kamil adalah pribadi Muhammad yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah representasi insan kamil. Oleh karena itu, dalam artikel terdahulu, manusia dikenal sebagai makhluk mikrokosmos.

Sebab, manusia merupakan miniatur alam makrokosmos. Posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul dapat dikatakan sebagai miniatur makhluk mikrokosmos karena pada diri beliau merupakan tajali Tuhan paling sempurna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan berbagai macam keutamaan di banding nabi-nabi sebelumnya.

Bahkan hadis-hadis Isra' Mikraj menyebutkan, Rasulullah pernah mengimami nabi yang pernah hidup sebelumnya. Melalui Nur Muhammad, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Dari segi ini, al-Jilli menganggapnya qadim dan Ibnu 'Arabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu Tuhan dan baharu ketika ia berwujud makhluk.

Namun perlu diingat bahwa konsep keqadiman, menurut Ibnu 'Arabi, ada dua macam, yaitu qadim dari segi dzat dan qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Nur Muhammad, menurut Ibnu 'Arabi, masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan dalam qadim al-dzati.

Dengan demikian, Nur Muhammad dapat dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai baharu dalam perspektis qadim al-dzati. Dalam satu riwayat juga pernah diungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi pertama dan terakhir.

Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam al-nubuwwah wa al-mursalin. Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a'yan al-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).
Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadis. Di antaranya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan". (QS al-Maidah [5]: 15).

Ayat lainnya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah". (QS al-Ahdzab [33]: 21). Ada pula hadis: "Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat".

Hadis riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu "Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur". Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan? Rasul menjawab, 'Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia'."

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan  'arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antarsimpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, "Ya Allah, apa yang harus saya tulis?" Allah menjawab, "Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah."/ Qalam menjawab, "Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma'-Mu Yang Mahsuci."

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari Nurnya, Allah menciptakan arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah.

Sampai hari ini, ujung qalam itu tetap terbelah dua dan tersumbat sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia Ilahi. Oleh karena itu, jangan ada seorang pun gagal dalam memuliakan dan menghormati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya, Allah memerintahkan qalam untuk menulis.

Qalam bertanya, "Apa yang harus saya tulis, ya Allah?" Dijawab oleh Allah, "Tulislah semua yang akan terjadi sampai hari pengadilan." Qalam pun kembali bertanya tentang apa yang harus ia mulia tuliskan. Allah menegaskan, agar qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah al-Rahman al-Rahim.

Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian qalam bersiap menulis kata-kata itu pada lauh al-mahfuz dan menyelesaikan tulisan itu dalam kurun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya.

Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini dibuat sebagai hadiah bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis tersebut di atas juga masih ada nasihat atau perkataan yang menarik untuk dikaji bersama.

Antara lain, ungkapan yang disampaikan al-Khallaj sebagai berikut, "Mahasuci (dzat) yang nasut-Nya telah melahirkan rahasia cahaya lahut-Nya yang cemerlang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secara nyata dan dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum."

Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki berbagai keutamaan, seperti satu-satunya yang bisa mengakses langsung sidrah al-muntaha, maqam paling puncak, diberi lailah al-qadr, diberi hak memberi syafaat di hari kiamat, umatnya paling pertama dihisab, paling pertama masuk surga, dan paling berhasil misinya.

Dalam kitab Fushush al-Hikam karya Ibnu 'Arabi, dibahas lebih mendalam hakikat Nur Muhammad (Haqiqah al-Muhammadiyyah). Yang menarik di dalam pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai  unsur-unsur kemuhammadan (Muhammadiyyah) seperti halnya di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur keadaman (Adamiyyah). (Republika, 10 Juni 2011)

Kisruh Tentang Bendera

Republika, Selasa, 14 Juni 2011
Menyikapi Bendera Secara Adil
Oleh Sutardi
Ketua Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah

Baru-baru ini sekolah-sekolah di bawah yayasan kami ini diancam oleh Bupati Karanganyar, Rina Iriani, untuk dicabut izinnya, hanya karena sekolah ini ingin menyikapi bendera kebangsaan secara adil dan proporsional.  Sekolah-sekolah di bawah Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah Tawangmangu ini sudah melayani kepentingan masyarakat selama 16 tahun.

Kegiatan utamanya mendidik ratusan anak menjadi insan Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, jujur, antikorupsi, antikriminal, dan disiapkan untuk ikut memperbaiki keadaan Indonesia. Sasaran utamanya anak-anak dari keluarga miskin. SMP-nya bahkan tidak memungut biaya sama sekali.

Pekan lalu, Bupati Rina menyampaikan ancamannya lewat media massa, baik cetak maupun elektronik, padahal beliau belum bertemu langsung dan menanyakan duduk perkaranya kepada sekolah Al-Irsyad. Bagi pendidik seperti kami, tindakan "main ancam" lewat media massa seperti ini lebih mirip manuver politik, ketimbang sikap mengayomi seorang kepala daerah.

Bagi lembaga pendidikan seperti Al-Irsyad, polemik semacam itu sama sekali tidak menguntungkan bagi berjalannya proses pendidikan anak-anak kita.  Tulisan ini tidak memiliki maksud selain mendudukkan perkara seadil-adilnya. Jika dicermati dengan baik, masyarakat akan bisa melihat bahwa reaksi Bupati Rina terhadap pernyataan Ketua Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah Tawangmangu sebagai reaksi yang berlebihan, karena beberapa alasan:

Pertama, sejak berdirinya sampai hari ini TK, SD, dan SMP Al-Irsyad masih mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa mereka hidup di sebuah negeri ciptaan Allah Ta'ala, yang rakyatnya bersepakat untuk menamai negaranya dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rakyat juga bersepakat memiliki konsensus nasional bernama Pancasila sebagai aturan hidup bersama, dan rakyatnya bersepakat bahwa bendera dwi-warna Merah Putih merupakan bendera kebangsaan, serta bersepakat bahwa gambar burung Garuda merupakan lambang negara. Tidak kurang tidak lebih.

Kedua, sampai hari ini, TK, SD, dan SMP Al-Irsyad Tawangmangu masih mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa konsekuensi berbagai kesepakatan di atas adalah di antaranya murid-murid itu akan mengikuti peraturan dan undang-undang yang berlaku. Misalnya, menaati aturan lalu-lintas, membayar pajak, tidak korupsi, tidak melanggar hukum, dan secara aktif terus-menerus ikut memperbaiki peraturan dan undang-undang tersebut agar semakin baik dalam menjaga kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara.

Khusus mengenai sikap Yayasan Al-Irsyad terhadap bendera kebangsaan, dasar dari sikap ini sederhana: kita tidak ingin menanamkan di hati dan benak anak-anak suatu kemuliaan dan sikap penghormatan kepada sesuatu yang nisbi. Menghormati dan menaati Allah dan Rasul-Nya itu mutlak.

Membela negara yang ikut menjaga dan memelihara iman kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, sedangkan menghormati selembar kain adalah nisbi. Sama dengan mengormati batu, pohon, sungai, dan lain-lain.

Tanpa diperintahkan oleh siapa pun, TK, SD, dan SMP Al-Irsyad Tawangmangu mengibarkan bendera Merah Putih di pekarangan sekolah ini setiap hari. Ini merupakan  bentuk pengakuan bahwa sekolah ini, termasuk jajaran pengajar, staf, dan seluruh muridnya, merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar dan adil.

Namun, mewajibkan murid-murid untuk mengangkat tangan dan meletakkannya di atas kening untuk membuktikan bahwa mereka "mencintai bangsa dan negara ini", lalu mengancam akan mencabut izin sekolahnya kalau tidak melakukannya, adalah tindakan yang berlebihan. Soalnya, penghormatan simbolis yang nisbi seperti itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang perilaku sehari-harinya justru mengkhianati negeri ini, misalnya lewat korupsi, kolusi, nepotisme, dan manipulasi jabatan yang merugikan keuangan rakyat dan negara.

Jalan keluar dari semua ini adalah Bupati Rina sebaiknya menghentikan ancaman-ancaman kepada rakyatnya, kecuali kepada rakyat atau pejabat yang mengorupsi uang negara atau melakukan tindak kejahatan yang melanggar undang-undang, dan merugikan kepentingan umum. Akan jauh lebih simpatik jika sebagai kepala daerah membuka dialog langsung dengan jajaran Yayasan Khusus Al-Irsyad dan sekolah lain yang bersangkutan.

Setelah duduk bersama dan berdialog, bila tidak ada aturan hukum dan perundang-undangan yang dilanggar, sikap Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah terhadap bendera sebaiknya diterima sebagai bagian dari kekayaan dan keragaman masyarakat, jangan disikapi dengan permusuhan.

Sesudah itu, jauh lebih baik jika kita bersama-sama mengerahkan energi, pikiran, dan waktu kita untuk memperbaiki hal-hal yang lebih penting, terkait keadaan pendidikan di Karanganyar yang masih jauh dari memadai. Jumlah penderita buta huruf yang masih tinggi. Belum cukupnya pendidikan yang mengarah ke sektor pertanian padahal Karanganyar merupakan kawasan agraris. Belum cukupnya jumlah sekolah untuk anak-anak dari keluarga miskin. Tingginya jumlah guru yang terlibat utang riba di bank-bank karena penghasilannya kurang memadai.

Hal-hal seperti itu jauh lebih perlu untuk mendapatkan perhatian serius Bupati Rina. Di sisa masa jabatan yang tinggal sebentar lagi, sebaiknya jangan terlalu banyak menghabiskan energi dan pikirannya bagi perkara yang kurang menyentuh hajat hidup masyarakat seperti "hormat bendera", yang duduk perkaranya sudah jelas sejak kita merdeka 66 tahun yang lalu. Wallahu a'lam bish-Shawaab, dan Allah lebih mengetahui sedetail-detailnya.

Republika, Senin, 13 Juni 2011
Hormat Bendera,Bolehkah?
Yusriandi Pagarah
Pengamat Sosial-Keagamaan
Koordinator Sumpur Kudus Institute Yogyakarta

Sutardi, kepala Sekolah SMP Al-Irsyad Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mengeluarkan pendapat yang terbilang berani. Menurutnya, mengangkat tangan untuk menghormati sang saka Merah Putih, bendera nasional Indonesia, tergolong musyrik dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pendapat kepala sekolah itu pun menggelinding ke mana-mana dan mendapat respons yang beragam dari berbagai kalangan.

Sikap-sikap melecehkan simbol negara sendiri bukanlah hal baru. Salah satu yang masih lekat di lekuk ingatan kita adalah apa yang dilakukan oleh Abdur Rauf, warga Amerika keturunan Afrika (Afro-Amerika), pada Maret 1996 silam. Ia menolak berdiri ketika lagu kebangsaan Amerika diperdengarkan sebelum pertandingan bola basket NBA dimulai. Menurutnya, lagu kebangsaan Amerika-dan juga bendera nasionalnya- merepresentasikan sejarah penindasan dan perbudakan warga Amerika terhadap keturunan Afrika. Baginya, berdiri untuk menghormati simbol penindasan dan perbudakan tersebut melukai perasaannya sebagai seorang Muslim dan keturunan Afrika.
  
Berselang dua empat jam kemudian, Abdur Rauf meralat pendapatnya dan meminta maaf. Kendati demikian, pengelola liga basket profesional Amerika tidak bisa menoleransi dan segera menjatuhkan sanksi, yakni melarang Abdur Rauf berkiprah di liga basket Amerika. Waktu kejadian itu, Abdur Rauf bermain untuk Vancouver Grizzlies, klub basket yang bermain di kasta tertinggi liga basket Amerika (NBA). Setelah kejadian tersebut, ia hijrah dan bermain basket di Turki (Pagarah, 2011: 194-195).            

Kontan saja perbuatan Abdur Rauf itu menyulut perdebatan panjang di Amerika dan berbagai negara Muslim. Di tengah pro-kontra itu, di Amerika muncul sebuah organisasi keagamaan yang menamakan dirinya SAS (The Society for Adherence of Sunnah) atau Masyarakat Taat Sunnah. Melalui sebuah fatwa, organisasi keagamaan yang dipimpin A Idris Palmer dan berpusat di Washington DC itu membenarkan sikap Abdur Rauf. Menurut SAS, Islam melarang kaum Muslim menghormati simbol-simbol non-Muslim. 

Bila dicermati, wacana Islam kontemporer, terutama yang diperlihatkan kaum puritan atau Islam populer, terbuhul pada dua tema besar, yakni perlawanan terhadap segala simbol Barat/tidak Islami dan menggusur perempuan dari ranah publik. Untuk mendukung pendapatnya, mereka lebih banyak bersandar pada tradisi kenabian dan para sahabatnya ketimbang dari Alquran.

Dalam pelbagai kitab hadis, riwayat-riwayat yang melarang menggerakkan anggota tubuh kepada selain Allah SWT, berasal dari Anas ibn Malik, Abu Umamah al-Bahili, dan Abu Mijlaz. Menurut para ulama, riwayat-riwayat yang bersumber dari Anas dan Abu Umamah itu secara kualitas dan kuantitas mengidap permasalahan, yakni bertransmisi tunggal dan janggal bagi perawi tertentu.

Dalam studi hadis, riwayat seperti itu tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah-masalah mendasar, kecuali ada dukungan dari riwayat yang lebih kuat. Sementara riwayat-riwayat dari Abu Mijlaz, termasuk dalam "hadis-hadis politik" karena banyak memoles sosok Muawiyah sebagai orang yang tidak haus terhadap kekuasaan. Menurut Fazlur Rahman (1994: 113), "hadis-hadis politik", meskipun termuat dalam kompedium Bukhari-Muslim, belum tentu benar-benar berasal dari Nabi karena sangat kecil beliau berperan dalam proses kemunculannya.      

Abou El Fadl mengevaluasi suara kepengarangan Nabi dan mengidentifikasi sejauh mana peran beliau melahirkan riwayat-riwayat tersebut. Setelah melakukan evaluasi dan identifikasi, ia berkesimpulan bahwa Nabi tidak berperan dan tidak terlibat dalam proses kelahiran hadis-hadis yang melarang menggerakkan anggota tubuh kepada selain Allah SWT.

Abou El Fadl melanjutkan, andaipun riwayat-riwayat tersebut otentik, tidak serta-merta dapat diterapkan langsung dalam kehidupan. Menurutnya, setidaknya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, ditinjau dari struktur, terutama yang dikaitkan dengan Muawiyah, hadis tersebut ditujukan kepada pemimpin, bukan kepada bawahan. Disebutkan bahwa siapa yang senang  orang lain berdiri untuknya, ia akan celaka dan tempatnya kelak di neraka. Menurut Iman Thabari dan Iman Nawawi, hadis ini sesungguhnya meminta para pemimpin untuk bersikap rendah hati dan tidak meminta bawahannya menghormatinya secara berlebihan.

Kedua, hadis tentang larangan berdiri berkaitan dengan masalah tata krama, bukan dengan masalah ibadah. Perlu diketahui, hadis tersebut hanya terdapat dalam kompedium Turmudzi dan ditaruh dalam bab mengenai tata krama. Dengan demikian, berdiri untuk menghormati seseorang, kecuali dalam pemakaman, sebenarnya tidak termasuk dalam subjek penelitian hukum. Ringkasnya, hadis berdiri ini sesungguhnya tidak berkaitan dengan masalah hukum haram atau makruh.

Ketiga, berkaitan dengan logika hukum yang digunakan. Terlepas riwayat-riwayat tersebut termasuk kategori ibadah atau tata krama, sebenarnya ada persoalan lain yang harus dijawab, yakni dapatkah riwayat-riwayat itu dijadikan dalil bagi boleh tidaknya seseorang berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan dan bendera nasionalnya?

Di sini akan digunakan dua penalaran hukum yang jamak digunakan dalam tradisi hukum Islam, yakni analogi berdasarkan kesamaan sebab operatifnya dan analogi berdasarkan kesamaan tujuannya. Jika diperhatikan, analogi yang digunakan dalam masalah ini tidak sama sebab operatifnya karena alasan berdiri untuk menghormati seseorang, seperti Nabi dan sahabat, tidaklah sama dengan berdiri untuk menghormati musik, lagu, ataupun bendera. Begitu juga bersujud atau membungkuk untuk menghormati seseorang tidaklah sama dengan membungkuk atau bersujud untuk menghormati lagu kebangsaan atau lagu nasional.

Selain mengkritisi dalil-dalil yang dijadikan sandaran pendapat dan memeriksa logika berpikir yang digunakan, Abou El Fadl juga membeberkan peristiwa-peristiwa 'menggerakkan anggota tubuh kepada selain Allah SWT' yang terjadi pada zaman Nabi. Diriwayatkan, para sahabat kerap berdiri untuk menyambut kedatangan Nabi maupun melepas kepergiannya. Nabi pun pernah menginstruksikan Bani Quraizhah berdiri menyambut kedatangan Sa'ad ibn Mu'adz.

Di samping itu, beliau pun berdiri untuk menyambut kedatangan Fatimah, 'Ikrimah ibn Abu Sufyan, saudara sesusuannya, dan rombongan jenazah. Bahkan, dalam sebuah riwayat yang populer disebutkan Nabi berdiri ketika pemakaman perempuan Yahudi. Ketika diberi tahu bahwa yang meninggal seorang Yahudi, jawaban Nabi, "Tetapi, bukankah ia juga seorang makhluk Tuhan!"

Senin, 13 Juni 2011
Hormat Bendera: Perbuatan Syirik?
Naufil Istikhari Kr
Peneliti Muda Nahdhatul Falasifah Community, UIN Yogyakarta.

Sepekan terakhir, muncul kabar mengejutkan bahwa ada sekolah yang tidak mau melakukan upacara dan penghormatan kepada bendera Merah Putih. Alasannya, menghormati bendera termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) yang wajib dihindari. Fenomena yang terjadi di salah satu sekolah dasar di Solo dan Karanganyar itu adalah bukti nyata melemahnya perekat dalam persatuan Indonesia.

Ini tantangan mendasar yang tak boleh dibiarkan begitu saja. Persatuan Indonesia harus diterjemahkan ke dalam bentuk kerelaan interpersonal dalam menjalankan aktivitas berbangsa dan bernegara yang bertitik tolak pada dimensi aktual nilai-nilai partikular pancasila plus nilai-nilai universal agama. Nilai partikular pancasila tak lain adalah selalu mendasarkan pada makna falsafah yang terkandung di dalamnya bagi segenap rakyat Indonesia tanpa pandang bulu, sementara nilai universal agama dijadikan logika pertimbangan dalam dimensi apa saja, termasuk berpancasila.

Menyikapi kelompok semacam itu, tidak boleh mengedepankan egosentrisme. Artinya, perlu analisis ilmiah dan pendekatan agama sebagai kendaraan menuju jalan terang tanpa mendatangkan masalah baru. Dalam konteks Pancasila, menghormati bendera tidak tertulis secara tekstual dengan jelas, juga dalam isi Sumpah Pemuda 1928. Hanya saja, komitmen persatuan yang secara kasat mata sebagai bahan acuan harus menjadi prioritas utama.

Dalam konteks agama, persatuan adalah kewajiban manusia yang mesti diperjuangkan. Mengikuti peraturan pemerintah, wajib hukumnya selama tidak bertentangan dengan nilai agama. Jika diakui secara jujur, menghormat bendera bukanlah peraturan pemerintah, melainkan sebentuk kesadaran kolektif yang tumbuh sebagai ritus aktual dalam berbangsa dan bernegara. Jika ditarik ke ranah teologi, menghormati bendera akan berimplikasi pada munculnya tanda tanya besar: benarkah menghormati bendera dengan sepenuh jiwa tergolong perbuatan menyekutukan Tuhan atau syirik?

Kerangka Teologis
Menurut Ibnu Taimiyah, hakikat agama Islam adalah wahyu yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Dasar yang paling pokok adalah beribadah kepada Allah dan internalisasi tauhid. Alquran dan al-Sunnah di dalamnya telah tercakup seluruh persoalan agama, baik yang berkaitan dengan akidah dan ibadah maupun masalah muamalah dan sebagainya.

Sayangnya, banyak yang mengeneralisasi bahwa tauhid mencakup ritus-ritus praksis menyangkut kecintaan terhadap Tanah Air dan praktik simbolis yang biasa dilakukan kita sehari-hari. Imam al Ghazali menyebut tauhid sebagai upaya menancapkan keyakinan dalam hati bahwa sejatinya Tuhan itu Esa. Yang perlu dipertegas di sini bahwa tauhid bukan bermakna sekadar simbolik. Tauhid harus benar-benar merasuk ke dalam jiwa seseorang tanpa terjebak pada semesta simbol.

Proses simbolik, semisal sujud, tasbih, dan sebagainya merupakan langkah kedua setelah seseorang bertauhid. Namun, aspek tersebut bukan menjadi wilayah akidah lagi, melainkan sudah masuk pada tugas syariat. Jika demikian, persoalan syirik atau tidak bukan lantas menjadi legitimasi umum yang mencakup segala aspek tanpa merujuk pada keyakinan personal.

Tauhid selalu dikontraskan dengan syirik atau politeisme. Masih menurut Al-Ghazali, keyakinan kepada transendensi Tuhan terletak pada hati nurani. Artinya, pergeseran tauhid hanya bisa terjadi jika keyakinan dalam hati juga ikut bergeser. Dalam konteks hormat pada bendera, ada dua kemungkinan yang bisa memantik pergeseran keyakinan tadi.

Pertama, jika seseorang menghormati bendera berdasarkan keyakikan teologis bahwa bendera itu sakral dan memiliki kedudukan hampir sama atau bahkan menyamai Tuhan, jelas ini tidak boleh dilakukan karena akan menjerumuskan pelakunya kepada perbuatan syirik.

Kedua, jika upacara yang dilakukan hanya sebentuk apresiasi kecintaan terhadap Tanah Air dan perwujudan identitas berbangsa dan bernegara, mengapa bisa dikategorikan syirik? Pada tataran ini, jelas ada generalisasi terhadap makna syirik dan masifikasi terhadap praktik-praktik simbolik. Padahal, basis agama tidak bisa selalu dikait-kaitkan terhadap wilayah sosial dan budaya. Artinya, agama tidak seharusnya dijadikan alat legitimasi yang serampangan dalam menilai permasalahan yang kian kompleks.

Mendudukkan agama sebagai kerangka teologis-transformatif akan membuat siapa saja lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan. Sekarang duduk persoalannya sudah jelas: menghormati bendera tidak bisa disamakan dengan menyembah yang berakibat pada politeisme. Dengan demikian, misi Islam sebagai agama rahmatan lil-'alamiin dapat diejawantahkan dengan mudah dan dapat diterima semua kalangan.

Selanjutnya, selain mendudukkan agama sebagai kerangka teologis secara proporsional, upaya menumbuhkembangkan spirit pancasila mutlak diperlukan. Saya rasa, "Persatuan Indonesia"-lah yang mendapat banyak sandungan di tengah perjalanan bangsa ini. Mulai dari persoalan separatisme, terorisme, NII hingga tidak mau menghormati bendera lagi.

Langkah tegas pemerintah dalam mengomparasikan aspek agama, negara, dan pancasila merupakan kunci jawaban yang diharapkan bisa segera diriilkan dengan tepat dan bijak. Memang, fenomena seperti di atas bukan masalah besar yang harus dibesar-besarkan. Namun, justru akan menggelembung dan membesar jika tidak disikapi dengan bijaksana. Di sinilah pentingnya "Persatuan Indonesia" dicarikan perekat ontologisnya secara menyeluruh.

Sabtu, 04 Juni 2011

Religiositas Pancasila

Oleh Fachry Ali
Pengamat Politik
 
Republika, Jumat, 03 Juni 2011

Banyak hal menarik pada acara peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011. Untuk pertama kalinya, acara tersebut dihadiri tiga Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono, BJ Habibie, dan Megawati Soekarnoputri). Peristiwa itu juga ditandai oleh akomodasi "semangat religius". Baik Habibie maupun Yudhoyono, memulai pidato dengan membaca "Basmalah" dan Megawati mengucapkan "Om Santi-Santi Om"-setelah mengucapkan "Assalamualikum".

Pidato ketiga presiden tersebut sangat berguna. Habibie memberi setting global dan domestik letak Pancasila dewasa ini. Ia menyimpulkan bahwa pandangan dasar itu berada dalam jalur dialektika yang tidak akan berhenti di satu titik terminal sejarah. Karena itu, Pancasila bukan milik sebuah era atau rezim kekuasaan. Megawati menelusuri sejarah yang berujung pada kesimpulan bahwa Pancasila tidak lahir dengan begitu saja, tetapi melalui perenungan panjang Presiden Soekarno.

Yudhoyono, selain menekankan (kembali) Pancasila sebagai dasar negara yang final, ia juga memberi penilaian "visi demokratis modern" tentang hubungan negara dengan masyarakat. Bahwa negara tidak dapat mengontrol pandangan orang-perorang, kecuali pandangan itu diaktualisasikan secara bertentangan dengan hukum. Hal terakhir ini, saya kira, adalah landasan argumentasi Yudhoyono untuk menyatakan bahwa Pancasila adalah a living and a working ideology.

Namun, dari semua itu, ada beberapa pertanyaan mendasar yang tidak terjelaskan. Pertama, sejak kapan Pancasila "pernah" diterapkan seideal nilai-nilai yang dikandungnya? Pidato Megawati dan Habibie mengesankan Pancasila pernah diterapkan secara ideal dan sempurna. Sepengetahuan saya, sepanjang sejarah politik Indonesia, tidak ada data yang memberikan kepuasan penjelasan tentang penerapan Pancasila dengan sungguh-sungguh.

Sulit menyatakan bahwa periode 1945-1959 yang disebut sebagai masa politik parlementer adalah penerapan Pancasila. Dan sama sulitnya menyatakan bahwa Pancasila telah diterapkan dalam periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di bawah penggali Pancasila sendiri, Presiden Soekarno. Fakta sejarah justru memperlihatkan, bukan saja jargon politik sering berubah-ubah, melainkan juga sifat pemerintahan yang cenderung otoriter. Otoritarianisme ini pula yang berkembang dalam periode Orde Baru (1967-1998). Pertanyaannya, apakah sepanjang pemerintahan Orde Baru, Pancasila telah diterapkan secara ideal?

Kedua, adakah model sempurna manusia Pancasila? Pancasila bukan agama dan karena itu tidak relevan menemukan seorang tokoh sekaliber "nabi". Tetapi setidaknya, Pancasila mungkin bisa disejajarkan dengan aliran-aliran agama. Jika Pancasila adalah hasil penafsiran manusia (Soekarno) terhadap realitas kesejarahan dan nilai-nilai budaya, aliran-aliran agama adalah juga hasil penafsiran manusia terhadap fenomena ajaran agama dan realitas sosial.

Dalam arti bahwa pertumbuhan aliran-aliran agama itu tidak tegak atas wahyu, seperti yang diturunkan kepada para nabi. Maka, jika pada kaum Muhammadiyah kita menemukan Ahmad Dahlan (bahkan mungkin juga AR Fachruddin) dan pada kaum Nahdliyyin kita temukan Kiai Hasyim Asy'ari (sebagai model "sempurna" masing-masing aliran agama itu), siapakah yang bisa kita jadikan model manusia Pancasila sepanjang sejarah kelahirannya hingga kini?

Ketiga, adakah tolok ukur minimal bahwa Pancasila telah diterapkan? Saya kira isi pidato Habibie dan Yudhoyono telah menyentuh inti pertanyaan ini kendatipun belum sempat memberikan jawaban. Ketika Habibie menunjukkan setting global eksistensi Pancasila, sesungguhnya ia ingin menekankan bahwa masyarakat Indonesia tidak berada dalam isolasi. Perkembangan teknologi komunikasi dan manipulasi atasnya bagaimanapun juga memengaruhi cara pandang masyarakat dan menstrukturkan kesadaran dan sistem tindakan mereka?yang tidak lagi "asli" Indonesia.

Dan ketika Yudhoyono menyampaikan bahwa pemerintah sedang menilai ulang kontrak-kontrak dengan perusahaan asing, sesungguhnya ia ingin menunjukkan anggapan "kurang Pancasila"-nya sistem ekonomi dewasa ini adalah warisan masa lampau, jauh sebelum ia menjadi presiden.

Akan tetapi, apakah otonomi individual akibat akses rakyat terhadap informasi, seperti ditekankan Habibie, dan turut sertanya modal-modal asing di dalam perekonomian nasional bertentangan dengan Pancasila? Sebenarnya, sebelum Pancasila lahir, para petani Indonesia telah masuk ke dalam radar globalisasi sistem kapitalisme melalui sistem Tanam Paksa pada 1830.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, bahkan keberadaan modal-modal asing (Barat) secara resmi diakui. Ini berarti bahwa secara ekonomi, Indonesia sejak lama bukanlah sebuah ruang hampa. Usaha mengisolasi diri secara ekonomi, seperti aksi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada 1957-1958, justru berbalik pada kesengsaraan rakyat yang mendorong kejatuhan pemerintah dalam kemelut politik 30 September 1965. Dalam konteks ini, sulit kita menyatakan bahwa aksi nasionalisasi tersebut adalah penerapan Pancasila di dalam perekonomian Indonesia.

Keempat, bagaimana hubungan Pancasila dengan kelahiran Indonesia? Fakta sejarah menunjukkan bahwa Soekarno dan Hatta adalah tokoh paling berjasa menyosialisasikan konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pertanyaannya, apa daya perekat yang memfasilitasi perluasan sosialisasi tersebut kepada masyarakat bangsa?

Jika kita ikuti analisis sejarawan Taufik Abdullah dalam bukunya Indonesia Towards Democracy, pertumbuhan masyarakat kota dan intensitas gerakan reformasi keagamaan sejak awal 1900-an telah menciptakan imajinasi alternatif baru masyarakat nusantara apa yang disebut dengan zaman kesadaran.

Hasilnya adalah lahirnya dinamika sosial-politik baru yang ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi sosial-keagamaan bercorak kekotaan: Boedi Oetomo, Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah. Semua ini memuncak pada 1920-an. Selain ditandai oleh kelahiran Taman Siswa dan Nahdlatul Ulama (NU), periode ini memperoleh "berkah historis" ketika sebuah "perhimpunan" mahasiswa pribumi di negeri Belanda serta kaum komunis dan Soekarno masing-masing mendirikan organisasi dan partai dengan nama "Indonesia" (Perhimpunan Indonesia, PKI, dan PNI). Palu godam terakhir yang mengukuhkan kenangan kolektif masyarakat tentang konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa adalah Sumpah Pemuda 1928. Di sini kita melihat, baik kata maupun konsep "Indonesia" telah diperkenalkan secara meluas jauh sebelum 1 Juni 1945.

Maka, andai kata cabang-cabang organisasi kemasyarakatan itu tidak menyebar ke seluruh nusantara sebelum 1928, sulit dibayangkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Revolusi Nasional 1945-1949 akan disambut dengan gegap gempita oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memang telah lahir pada 1 Juni 1945. Akan tetapi, gagasan-gagasan yang tumbuh dalam kecamuk dan dinamika Revolusi Nasional 1945-1949?yang mengukuhkan kedaulatan Indonesia secara politik?lebih menekankan pada ide sosialisme, antiimperialisme, dan nasionalisme. Dan, dengan berharap saya yang keliru,  kata "Pancasila" baru muncul kembali dalam pidato Presiden Soekarno pada 17 September 1951, seperti yang dikompilasikan Herbert Feith dan Lance Castles dalam Indonesian Political Thinking.

Jadi, perekat kuat keindonesiaan dalam revolusi nasional yang decisive itu adalah keterpesonaan rakyat nusantara terhadap "Indonesia" sebagai sebuah konsep kebangsaan yang ditebar Soekarno-Hatta dan disosialisasikan lebih lanjut oleh organisasi-organisasi sosial-politik dan keagamaan.

Dengan pengalaman sejarah ini, sebelum mampu menciptakannya sebagai wahana efektif dan fungsional bagi kehidupan modern Indonesia, yang pertama harus dilakukan terhadap Pancasila adalah memberikan unsur religiositas ke dalam pemahamannya. Bukan sebaliknya, dengan membuatnya kian "sekuler". Mengambil perbandingan dengan aliran-aliran agama, semangat religiositas inilah yang menyebabkan mengapa nilai-nilai  kemuhammadiyahan dan ke-NU-an survive hingga kini.

Reaktualisasi Pancasila [2]

Sabtu, 04 Juni 2011 pukul 08:59:00

Oleh Bacharuddin Jusuf Habibie

Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan, dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis, serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luluhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warga negara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warga negara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Melepas alienasi
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila. Dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat, dan sakral yang justru membuatnya teralienasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih "membumi" sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebagai ilustrasi, misalnya, kalau sila ke lima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini? Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu negara ke negara lain yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke mancanegara sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "Verenigte Oostindische Companie (VOC)" dengan baju baru.

Implementasi sila ke lima untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan itu, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah".

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa pada masa datang sehingga memosisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru, dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam Bumi Pertiwi oleh para founding fathers kita.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung yang dapat menjadi fondasi, perekat, sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasi.

Kamis, 02 Juni 2011

Keruntuhan Moral Elite Politik

Republika, Selasa, 31 Mei 2011

Ahmad Syafii Maarif

Pada 26 Mei 2011 pagi, Pak JEH (Junus Effendi Habibie) telepon saya dan menyampaikan kegusarannya yang sangat dalam tentang semakin memburuk dan merosotnya moral elite politik Indonesia. Artinya, masalah penilaian tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, telah semakin longgar dan kabur. Dikatakannya, jika moral sudah tidak ada, apa lagi yang masih tersisa pada diri seseorang.

Saya jawab, sudah tidak ada lagi yang tersisa, kecuali kebobrokan. Contoh yang diberikannya adalah kasus yang menimpa mantan bendahara umum PD (Partai Demokrat) yang disikapi berbeda oleh petinggi partai itu. Ada yang masih membela, ada pula yang setuju diberi sanksi. Sanksi memang sudah dijatuhkan, tetapi masih dihibur dengan perkataan: dia masih tetap sebagai kader partai.

Kata JEH, masalah hukum biarlah berjalan sebagaimana mestinya, tetapi masalah moral dan etika tidak boleh dibiarkan terus meluncur, jika saja elite partai politik masih punya kepekaan moral. Bila kepekaan itu sudah menghilang, runtuhlah seluruh bangunan integritas seseorang. Kepura-puraan dan bermanis bibir sengaja ditampakkan demi menutupi keborokan moral yang telah menggerogoti konstruksi batinnya.

Sebenarnya, sekiranya saya tidak menerima telepon di atas, tulisan ini tidak akan pernah muncul. Tetapi, JEH begitu prihatin tentang masalah moral ini. Rasanya tidaklah elok saya mendiamkannya untuk kepentingan publik, sekalipun sebenarnya sudah hampir tak berselera lagi mengomentari perilaku para elite negeri ini. Retorika sebagai teknik menutup kenyataan yang busuk dengan berbagai cara seolah-olah telah menjadi norma keseharian bangsa ini.

Orang yang seperasaan dengan JEH hampir merata di mana-mana, di kota dan di desa. Kepercayaan publik kepada para elite telah semakin sirna dari waktu ke waktu, termasuk kepercayaan kepada pemerintah yang dinilai tidak tanggap terhadap masalah-masalah yang sedang membebani bahu bangsa ini. Peraih hadiah Nobel tahun 1970, sastrawan Rusia Aleksandr Solzhenitsyn, dalam sebuah novelnya pernah menulis ungkapan dalam bentuk pertanyaan: jika moral dan etika telah meninggalkan diri seseorang, apa lagi yang tersisa pada orang itu?

Apa yang diingatkan oleh pujangga Ronggowarsito tentang zaman edan tampaknya selalu berulang sepanjang masa. Jika tidak turut edan, tidak mendapat apa-apa, tetapi sikap eling (ingat) yang dapat membawa keselamatan. Di saat mulai gencarnya orang menyebut Pancasila yang memang sudah telantar sekian lama, sekaranglah waktunya kita semua menjadi eling agar moral yang rusak itu secara berangsur dapat diperbaiki, sebelum segala sesuatu menjadi sangat terlambat.

Kritik publik terhadap berbagai ketimpangan moral itu tidak kurang, tetapi perbaikan tak kunjung datang. Sebagai bagian yang menyatu dengan kejatuhan moral itu, negara sudah lama menjadi sapi perahan. Saya dengar, misalnya, kondisi jalan di Jawa Tengah sudah banyak yang rusak akibat anggarannya telah disunat. Sekiranya 60 persen saja dana yang diperuntukkan bagi perbaikan jalan itu digunakan, daya tahan jalan akan jauh lebih lama. Tetapi, pragmatisme tuna-moral telah membutakan mata dan menutup hati sebagian orang sehingga tidak mau lagi berpikir jauh ke depan untuk kepentingan yang lebih besar.
   
Wartawan yang sering bertanya tentang berbagai masalah, kadang-kadang saya jawab saja: tak punya selera lagi untuk beri komentar. Mungkin sikap seperti ini tidak baik, tetapi di saat-saat tertentu terasa sekali kelelahan batin untuk menjawab pertanyaan wartawan. Itulah sebabnya, sekiranya Pak JE Habibie tidak menelpon saya untuk menyatakan kerisauannya tentang moral elite yang semakin merosot ini, seperti tersebut di atas, tulisan semacam ini tidak akan sampai kepada pembaca.

Tetapi, di atas itu semua agar tidak terus larut dalam kegundahan, kita harus percaya bahwa jumlah orang baik di kalangan anak bangsa ini masih cukup tersedia. Pada saatnya mereka tentu akan tampil dengan kepercayaan diri yang penuh untuk bersama-sama berupaya membebaskan bangsa ini dari anomali moral yang telah mengotori pilar-pilar kultur kita selama ini.     

NKRI dan Pendidikan Pancasila

Republika, Senin, 30 Mei 2011

Musa Asy'arie
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
 
Fenomena sosial akhir-akhir ini memperlihatkan semakin kacaunya nilai-nilai yang dianut bangsa ini. Satu kelompok terjebak dalam pragmatisme yang meletakkan kekuasaan dan uang sebagai tujuannya, sehingga kehidupan politik kita dikuasai oleh money politics dan korup. Pada sisi lain, terperosok pada radikalisme sebagai kekuatan untuk melawan kecenderungan kehidupan di Indonesia yang semakin korup dan hedonis. Radikalisme bersentuhan dengan faham keagamaan tertentu untuk menyelamatkan Indonesia yang semakin jauh dari ajaran agama, bahkan melahirkan tindakan kekerasan dan pemaksaan kepada orang lain untuk mengikutinya faham keagamaan yang dianutnya.

Rasanya, sulit membayangkan adanya suatu negara tanpa ideologi, karena suatu negara sesungguhnya dibangun dan berdiri di atas dasar tatanan ideologi, dan Indonesia pun lahir menjadi negara karena adanya perjuangan ideologis yang melahirkan gerakan rakyat-untuk menuntut kemerdekaan melawan penjajahan sehingga berhasil mendirikan negeri yang merdeka, sah, dan berdaulat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Yang menjadi dasar konstitusi NKRI adalah Pancasila, yang di dalamnya terkandung pemikiran filsafat ideologi politik kebangsaan yang menyerap berbagai pemikiran filosofis, dan mengakui serta menghormati adanya pluralitas budaya, agama, suku, dan bahasa. Pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman itu yang dikukuhkan secara simbolis dalam Bineka Tunggal Ika.

Karena itu, penghapusan pendidikan Pancasila bisa dipandang sebagai deideologisasi yang akan membawa bangsa ini mengalami krisis kebangsaan yang multidimensi dan terjebak dalam kehidupan pragmatis. Pragmatisme akan membuat pendidikan Pancasila antirealitas dan hanya omong kosong, karena apa yang diberikan dalam pendidikan Pancasila sama sekali tidak ada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari.  

Jika pendidikan Pancasila mengajarkan ketuhanan, perilaku yang dijiwai ketuhanan itu tidak tecermin pada perilaku politik yang hanya mengejar kekuasaan dan uang, dan uanglah yang kemudian dipertuhankan. Jika pendidikan Pancasila mengajarkan tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, maka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah perilaku masyarakat yang mencerminkan ketidakadilan dan ketidakberadaban, dengan tindakan premanisme dan konflik kekerasaan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Jika pendidikan Pancasila mengajarkan persatuan Indonesia, persatuan itu hanya slogan, karena dalam mengurus Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) yang harusnya menjunjung tinggi rasa persatuan dan sportivitas, dalam kenyataannya sportivitas itu tidak ada, baik di dalam tubuh organisasinya sendiri maupun di lapangan sepak bolanya. Yang ada adalah perpecahan dan kebrutalan. "Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan" tidak ada lagi, karena membuat keputusan untuk membangun gedung baru DPR RI yang mewah di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyatnya, apalagi keadilan sosial yang terasa masih jauh dari rakyat Indonesia.  

Jika pendidikan Pancasila dalam kenyataannya adalah pendidikan yang antirealitas, apakah Pancasilanya yang salah atau pendidikannya yang salah? Jika Pancasilanya yang salah, pasti tidak mungkin, karena Pancasila ideologi yang telah mendasari adanya kehidupan dan konstitusi NKRI. Jika Pancasilanya yang salah, NKRI yang dibangun di atasnya juga salah. Dan jika pendidikan Pancasila dihapus, cepat atau lambat pastilah akan menghapus eksistensi NKRI itu sendiri.
  
Redesain pendidikan Pancasila
Sesungguhnya, semua cabang keilmuan yang diajarkan dalam lembaga pendidikan di Indonesia akan diaplikasikan dalam kehidupan nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Jadi, Indonesia adalah wilayah aplikatif yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah bangunan keilmuan yang diajarkan di Indonesia, sebagaimana halnya dengan etika bagi suatu ilmu yang mendasari aplikasi dari semua ilmu. Dan, suatu ilmu tanpa aplikasi pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka, seperti pohon tanpa buah.

Jika kita bicara Indonesia dalam konteks ilmu, NKRI adalah suatu negara yang dibangun berdasarkan suatu ideologi Pancasila, sehingga aplikasi ilmu di Indonesia harus menyatu dengan nilai-nilai keindonesiaan, yaitu Pancasila. Akan tetapi, yang terjadi sekarang pendidikan Pancasila tidak diminati oleh banyak peserta didik, karena hanya mengajarkan sesuatu yang kosong belaka, terpisah dari realitas dan menjadi retorika semata, tidak dialogis, kaku, dan doktrinal. Akibatnya, wilayah keindonesiaan tidak menyatu, bahkan terasa asing dalam suatu bangunan keilmuan yang diajarkan di Indonesia. Fenomena inilah yang mengakibatkan pendidikan Pancasila menjadi absurd.

Karena itu, redesain kurikulum pendidikan Pancasila dimaksudkan bagaimana menyatukan keindonesiaan itu dalam setiap cabang keilmuan yang ada, di bidang sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan bahkan agama. Sebagai contoh, ilmu pertanian dalam konteks keindonesiaan adalah bagaimana mengembangkan konsep pertanian kita, sehingga sebagai negara agraris, kita tidak lagi bergantung pada impor produk-produk agraris, apalagi bagi negara yang tanahnya subur. Maka, pengembangan keilmuan pertanian kita mestinya bisa menghentikan ketergantungan kita dari impor produk agraris. Tetapi kenyataannya, bahkan kedele dan pisang pun kita masih impor. Demikian juga berlaku dengan ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.

Dalam konteks keilmuan agama Islam, umpamanya, keindonesiaan harus menyatu dalam setiap kajian-kajian keislaman yang ada. Maka, dalam perspektif keindonesiaan, kemajemukan yang otentik bagi kehidupan Indonesia harus dapat diserap dalam suatu aplikasi keilmuan agama Islam yang ada, sehingga setiap kajian keagamaan Islam yang ada, aplikasinya dapat menghormati adanya realitas kemajemukan Indonesia, agar dapat mewujudkan pesan sentral Islam sebagai rahmat bagi kehidupan semesta.

NKRI ini sesungguhnya memerlukan bangunan keilmuan yang tak terpisahkan dari realitas keindonesiaan, agar pengembangan setiap cabang keilmuan di negeri ini memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia. Semua realitas keindonesiaan, baik nilai-nilai filosofis dan ideologis maupun realitas kehidupan geografis, social, dan budaya harus menjadi bahan utama dari suatu konstruksi keilmuan yang diajarkan di negeri ini sesuai dengan bidangan kajian ilmunya. Sehingga, pengajaran dan pendidikan keilmuan yang ada bukan westernisasi, apalagi arabisasi. Kalau tidak, sarjana kita akan asing dengan negerinya sendiri, dan ini akan menjadi fenomena yang amat memilukan. Dalam konteks keindonesiaan inilah, redesain pendidikan Pancasila yang integratif dengan ilmu dan teknologi menjadi sangat perlu dan strategis.

Piagam Jakarta dan UUD 1945

Selasa, 31 Mei 2011 pukul 11:51:00
Oleh DR Ahmad Sumargono
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategi Politik
dan Pemerintahan (PKSPP)

Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan landasan konstitusional yang menentukan arah pembangunan nasional, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusi bagi bangsa Indonesia, seharusnya menjiwai setiap peraturan dan perundang-undangan dalam mewujudkan cita-cita dan arah pembangunan bangsa.

Sedangkan dalam naskah otentik pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta, pada naskah yang disusun tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri atas Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin, itu termaktub dalam alinea keempat kalimat: "... kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja …."

Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai "Gentlemen's Agreement" antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim. Tapi, pada 18 Agustus 1945, "tujuh kata" vital tadi akhirnya didrop dengan alasan umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru saja diproklamasikan, bila tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar Negara.Mengomentari ultimatum itu, DR M Natsir mengatakan: "Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa."

Upaya kelompok Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 'disabotase' oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagallah usaha tersebut hingga sekarang. Memasuki era reformasi, UUD 45 telah  mengalami amendemen sebanyak empat kali, yakni pada 1999 hingga yang terakhir 2002. Amendemen itu menimbulkan kontroversi.

Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit), sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah diamendemen, yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah diamendemen ini diamendemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amendemen terbatas dan sebagian lagi amendemen overwhole atau keseluruhan. Amendemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amendemen 2002 adalah keran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan, bahkan merupakan ancaman bagi kedaulatan bangsa.

Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU terindikasi melalui Intervensi G2G (Government to Government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini, memang tampak vulgar sehingga mudah diserang oleh hujan kritik. Contohnya: Pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.

Dalam bidang ekonomi, melalui W2G (World to Government), yakni intervensi melalui lembaga internasional (seperti PBB,WTO, dan IMF) yang mengambil peran. Seperti dalam hal agenda UU yang terkait dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU Perbankan, UU Migas,UU Tenaga Listrik, dan UU sumber daya air).
Peranan NGO (Non Government Organization) atau LSM asing tidak kalah agresivitasnya dalam melakukan intervensi melalui pemanfaatan LSM lokal. Untuk kepentingan asing, mereka bisa mendatangkan para penyusun UU hingga demo besar besaran, seperti penolakan RUU pornografi dan pornoaksi.

LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah NDI (National Democration Institute) yang dalam operasionalnya didukung CETRO (Central for Electoral Reform) suatu LSM asing yang bergerak di bidang reformasi pemilihan umum dan rancangan undang-undang. Mereka mempunyai program Constitutional Reform. Diduga ada dana 4,4 miliar dolar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Bahkan, NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR.

Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amendemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA).

Pakar minyak Kurtubi dalam diskusi bertema "UUD 1945 vs UUD 2002" di kantor Institute for Policy Studies Jakarta, membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.

Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing, seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan perusahaan lainnya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.

Beberapa waktu lalu, sejumlah media menulis bahwa kuatnya dominasi asing di Indonesia. Data-data yang disajikan sungguh mengagetkan karena besarnya kepemilikan asing di Indonesia. Menurut data yang disajikan, sampai dengan Maret 2011, asing telah menguasai lebih dari 50 persen aset perbankan nasional. Ini berarti aset bank Rp 1,551 triliun lebih. Dari total aset bank senilai Rp 3.065 triliun, kini dikuasai asing.

Bidang asuransi pun lebih separuh milik asing, yaitu sekitar 45 perusahaan asuransi jiwa. Bidang lain, pasar modal total investor asing menguasai 70 persen. Di bursa efek, data yang parah juga terjadi pada kepemilikan BUMN yang telah diprivatisasi, kini 60 persen dikuasai asing.

Lebih mengerikan lagi adalah penguasaan sektor pertambangan minyak dan gas yang kini 75 persen telah dikuasai asing. Kini, rakyat Indonesia dipaksa membeli BBM dengan harga pasar dunia, padahal semula Indonesia merupakan anggota OPEC, negara pengekspor minyak, kini terbalik menjadi pengimpor bahan BBM karena hampir 100 persen minyak yang dieksploitasi dari bumi pertiwi justru diekspor dengan harga yang murah.

Sebagai negara penghasil minyak selayaknya minyak yang dihisap dari bumi negeri ini bisa dipakai maksimal untuk kepentingan rakyat. Seperti yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi dan Libya yang kini rakyatnya menikmati harga BBM-Premium rata rata Rp1200/liter.

Keprihatinan yang dialami bangsa ini tampaknya harus segera diambil langkah-langkah penataan ulang terhadap kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi melalui pemberdayaan sumber daya dan reevaluasi segala bentuk peraturan dan perundang- undangan yang disesuaikan dengan nilai-nilai moral bangsa serta berorientasi pada kepentingan nasional.

Nilai-nilai moral bangsa, yang sebenarnya telah ditetapkan sebagai landasan ideologi bangsa, yaitu Pancasila, sebagai komitmen nasional, serta Piagam Jakarta sebagai sumber inspirasi dari mukadimah UUD 45. Sumber inspirasi ini seharusnya menjadi ruhnya setiap kebijakan dan strategi pembangunan nasional. Maka, berdasakan latar belakang historis maupun kepentingan faktual masa depan, pemulihan Piagam Jakarta menjadi relevan diperjuangkan.

Reaktualisasi Pancasila

http://koran.republika.co.id/halaman/1
Jumat, 03 Juni 2011 pukul 09:17:00

Oleh Bacharuddin Jusuf Habibie

Enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),  Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia merdeka.

Selama 60 tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik. Ujian muncul sejak zaman demokrasi parlementer, era demokrasi terpimpin, era demokrasi Pancasila, hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Pada setiap zaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun, bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama.

Pertanyaan mendasar
Di manakah Pancasila kini berada? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, dan apalagi diterapkan, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila? Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita.
Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah, baik di tingkat domestik, regional, maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 --66 tahun yang lalu-- telah mengalami perubahan yang amat nyata saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang.

Beberapa perubahan yang kita alami, antara lain, terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya. Selain itu, juga terjadi perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Hal lainnya adalah lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.

Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelumberhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euforia reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya 'amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi, misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti-Pancasila".

Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon, dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Kesalahan mendasar
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan, atau orde tertentu.

Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi, atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional, maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana, dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru, dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus-menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam  praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini.  Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok, dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. (bersambung)