Sabtu, 04 Juni 2011

Religiositas Pancasila

Oleh Fachry Ali
Pengamat Politik
 
Republika, Jumat, 03 Juni 2011

Banyak hal menarik pada acara peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011. Untuk pertama kalinya, acara tersebut dihadiri tiga Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono, BJ Habibie, dan Megawati Soekarnoputri). Peristiwa itu juga ditandai oleh akomodasi "semangat religius". Baik Habibie maupun Yudhoyono, memulai pidato dengan membaca "Basmalah" dan Megawati mengucapkan "Om Santi-Santi Om"-setelah mengucapkan "Assalamualikum".

Pidato ketiga presiden tersebut sangat berguna. Habibie memberi setting global dan domestik letak Pancasila dewasa ini. Ia menyimpulkan bahwa pandangan dasar itu berada dalam jalur dialektika yang tidak akan berhenti di satu titik terminal sejarah. Karena itu, Pancasila bukan milik sebuah era atau rezim kekuasaan. Megawati menelusuri sejarah yang berujung pada kesimpulan bahwa Pancasila tidak lahir dengan begitu saja, tetapi melalui perenungan panjang Presiden Soekarno.

Yudhoyono, selain menekankan (kembali) Pancasila sebagai dasar negara yang final, ia juga memberi penilaian "visi demokratis modern" tentang hubungan negara dengan masyarakat. Bahwa negara tidak dapat mengontrol pandangan orang-perorang, kecuali pandangan itu diaktualisasikan secara bertentangan dengan hukum. Hal terakhir ini, saya kira, adalah landasan argumentasi Yudhoyono untuk menyatakan bahwa Pancasila adalah a living and a working ideology.

Namun, dari semua itu, ada beberapa pertanyaan mendasar yang tidak terjelaskan. Pertama, sejak kapan Pancasila "pernah" diterapkan seideal nilai-nilai yang dikandungnya? Pidato Megawati dan Habibie mengesankan Pancasila pernah diterapkan secara ideal dan sempurna. Sepengetahuan saya, sepanjang sejarah politik Indonesia, tidak ada data yang memberikan kepuasan penjelasan tentang penerapan Pancasila dengan sungguh-sungguh.

Sulit menyatakan bahwa periode 1945-1959 yang disebut sebagai masa politik parlementer adalah penerapan Pancasila. Dan sama sulitnya menyatakan bahwa Pancasila telah diterapkan dalam periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di bawah penggali Pancasila sendiri, Presiden Soekarno. Fakta sejarah justru memperlihatkan, bukan saja jargon politik sering berubah-ubah, melainkan juga sifat pemerintahan yang cenderung otoriter. Otoritarianisme ini pula yang berkembang dalam periode Orde Baru (1967-1998). Pertanyaannya, apakah sepanjang pemerintahan Orde Baru, Pancasila telah diterapkan secara ideal?

Kedua, adakah model sempurna manusia Pancasila? Pancasila bukan agama dan karena itu tidak relevan menemukan seorang tokoh sekaliber "nabi". Tetapi setidaknya, Pancasila mungkin bisa disejajarkan dengan aliran-aliran agama. Jika Pancasila adalah hasil penafsiran manusia (Soekarno) terhadap realitas kesejarahan dan nilai-nilai budaya, aliran-aliran agama adalah juga hasil penafsiran manusia terhadap fenomena ajaran agama dan realitas sosial.

Dalam arti bahwa pertumbuhan aliran-aliran agama itu tidak tegak atas wahyu, seperti yang diturunkan kepada para nabi. Maka, jika pada kaum Muhammadiyah kita menemukan Ahmad Dahlan (bahkan mungkin juga AR Fachruddin) dan pada kaum Nahdliyyin kita temukan Kiai Hasyim Asy'ari (sebagai model "sempurna" masing-masing aliran agama itu), siapakah yang bisa kita jadikan model manusia Pancasila sepanjang sejarah kelahirannya hingga kini?

Ketiga, adakah tolok ukur minimal bahwa Pancasila telah diterapkan? Saya kira isi pidato Habibie dan Yudhoyono telah menyentuh inti pertanyaan ini kendatipun belum sempat memberikan jawaban. Ketika Habibie menunjukkan setting global eksistensi Pancasila, sesungguhnya ia ingin menekankan bahwa masyarakat Indonesia tidak berada dalam isolasi. Perkembangan teknologi komunikasi dan manipulasi atasnya bagaimanapun juga memengaruhi cara pandang masyarakat dan menstrukturkan kesadaran dan sistem tindakan mereka?yang tidak lagi "asli" Indonesia.

Dan ketika Yudhoyono menyampaikan bahwa pemerintah sedang menilai ulang kontrak-kontrak dengan perusahaan asing, sesungguhnya ia ingin menunjukkan anggapan "kurang Pancasila"-nya sistem ekonomi dewasa ini adalah warisan masa lampau, jauh sebelum ia menjadi presiden.

Akan tetapi, apakah otonomi individual akibat akses rakyat terhadap informasi, seperti ditekankan Habibie, dan turut sertanya modal-modal asing di dalam perekonomian nasional bertentangan dengan Pancasila? Sebenarnya, sebelum Pancasila lahir, para petani Indonesia telah masuk ke dalam radar globalisasi sistem kapitalisme melalui sistem Tanam Paksa pada 1830.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, bahkan keberadaan modal-modal asing (Barat) secara resmi diakui. Ini berarti bahwa secara ekonomi, Indonesia sejak lama bukanlah sebuah ruang hampa. Usaha mengisolasi diri secara ekonomi, seperti aksi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada 1957-1958, justru berbalik pada kesengsaraan rakyat yang mendorong kejatuhan pemerintah dalam kemelut politik 30 September 1965. Dalam konteks ini, sulit kita menyatakan bahwa aksi nasionalisasi tersebut adalah penerapan Pancasila di dalam perekonomian Indonesia.

Keempat, bagaimana hubungan Pancasila dengan kelahiran Indonesia? Fakta sejarah menunjukkan bahwa Soekarno dan Hatta adalah tokoh paling berjasa menyosialisasikan konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pertanyaannya, apa daya perekat yang memfasilitasi perluasan sosialisasi tersebut kepada masyarakat bangsa?

Jika kita ikuti analisis sejarawan Taufik Abdullah dalam bukunya Indonesia Towards Democracy, pertumbuhan masyarakat kota dan intensitas gerakan reformasi keagamaan sejak awal 1900-an telah menciptakan imajinasi alternatif baru masyarakat nusantara apa yang disebut dengan zaman kesadaran.

Hasilnya adalah lahirnya dinamika sosial-politik baru yang ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi sosial-keagamaan bercorak kekotaan: Boedi Oetomo, Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah. Semua ini memuncak pada 1920-an. Selain ditandai oleh kelahiran Taman Siswa dan Nahdlatul Ulama (NU), periode ini memperoleh "berkah historis" ketika sebuah "perhimpunan" mahasiswa pribumi di negeri Belanda serta kaum komunis dan Soekarno masing-masing mendirikan organisasi dan partai dengan nama "Indonesia" (Perhimpunan Indonesia, PKI, dan PNI). Palu godam terakhir yang mengukuhkan kenangan kolektif masyarakat tentang konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa adalah Sumpah Pemuda 1928. Di sini kita melihat, baik kata maupun konsep "Indonesia" telah diperkenalkan secara meluas jauh sebelum 1 Juni 1945.

Maka, andai kata cabang-cabang organisasi kemasyarakatan itu tidak menyebar ke seluruh nusantara sebelum 1928, sulit dibayangkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Revolusi Nasional 1945-1949 akan disambut dengan gegap gempita oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memang telah lahir pada 1 Juni 1945. Akan tetapi, gagasan-gagasan yang tumbuh dalam kecamuk dan dinamika Revolusi Nasional 1945-1949?yang mengukuhkan kedaulatan Indonesia secara politik?lebih menekankan pada ide sosialisme, antiimperialisme, dan nasionalisme. Dan, dengan berharap saya yang keliru,  kata "Pancasila" baru muncul kembali dalam pidato Presiden Soekarno pada 17 September 1951, seperti yang dikompilasikan Herbert Feith dan Lance Castles dalam Indonesian Political Thinking.

Jadi, perekat kuat keindonesiaan dalam revolusi nasional yang decisive itu adalah keterpesonaan rakyat nusantara terhadap "Indonesia" sebagai sebuah konsep kebangsaan yang ditebar Soekarno-Hatta dan disosialisasikan lebih lanjut oleh organisasi-organisasi sosial-politik dan keagamaan.

Dengan pengalaman sejarah ini, sebelum mampu menciptakannya sebagai wahana efektif dan fungsional bagi kehidupan modern Indonesia, yang pertama harus dilakukan terhadap Pancasila adalah memberikan unsur religiositas ke dalam pemahamannya. Bukan sebaliknya, dengan membuatnya kian "sekuler". Mengambil perbandingan dengan aliran-aliran agama, semangat religiositas inilah yang menyebabkan mengapa nilai-nilai  kemuhammadiyahan dan ke-NU-an survive hingga kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar