Sabtu, 20 Agustus 2011

17 Agustus (Ramadhan)

Republika, Jumat, 19 Agustus 2011 pukul 12:46:00
Oleh Zaim Uchrowi

Angka 66 secara umum tak bermakna apa-apa, kecuali bagi yang suka mengutak-atiknya: ‘66’ sebagai kebalikan angka ‘99’, angka Asmaul Khusna. Selain itu, ini juga menjadi angka khusus bagi aktivis Angkatan ‘66. Tapi, 66 tahun Indonesia merdeka melahirkan momen menarik seperti tahun 1945. Hari kemerdekaan bertemu dengan Ramadhan. Tanggal peringatan proklamasi bahkan bersamaan dengan Nuzulul Quran.

“Tak ada kebetulan di dunia ini”. Para ulama, para pelatih pengembangan diri, meyakini itu. Segala sesuatu di alam semesta ini tak lepas dari kehendak-Nya. Tinggal bagaimana memahami dan memaknai kehendak Tuhan yang tampak seperti kebetulan itu, termasuk kehendak-Nya mempertemukan dua momen penting ini sekarang.

Merdeka. Sebuah kata yang banyak terlupakan, kecuali pada hari-hari seperti pada Agustus sekarang. Padahal, sebenarnya, setiap manusia adalah merdeka. Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Jiwa dan mentalnya bersih belum ternodai apa pun. Dengan jiwa dan mental bersih, mereka akan tumbuh dewasa menjadi pribadi-pribadi utuh. Pribadi-pribadi yang sanggup menaklukkan dunia. Sanggup mewujudkan kebahagiaan bagi diri sendiri juga mewujudkan kesejahteraan bersama.

Namun, sekarang keadaan yang menumbuhkan anak-anak bangsa tidak lagi steril. Lebih tepatnya tidak sehat. Itu yang membuat anak-anak bangsa tidak tumbuh normal. Keadaan membuat anakanak bangsa tidak merdeka. Lingkungan membuat mereka terkendala. Bahkan, dalam bahasa tegas, dapat dikatakan bahwa anak-anak bangsa ini ‘terjajah’. Bukan oleh Belanda, tentu, bukan pula oleh Jepang, namun terjajah keadaan tidak baik produk bangsa sendiri.

Mari tengok setidaknya 30 juta warga miskin negeri subur makmur ini. Jumlah yang dapat kian membengkak karena beranak pinak. Mereka itulah yang paling ‘terjajah’ oleh keadaan. Kalangan yang menengah pun tak bebas dari terjajah. Anak-anak bangsa yang ‘terjajah keadaan’ itu sebagian besarnya akan pasrah menjadi orang kalah dalam kehidupan. Sebagian lain memilih berjudi dalam permainan yang diistilahkan oleh Ronggowarsito pada abad ke-19 sebagai permainan ‘Zaman Edan’.

Merdeka bukan pasrah pada keadaan. Bukan pula larut dalam permainan ‘Zaman Edan’ seperti yang dilakukan Nazaruddin. Merdeka berarti berkesadaran dan berkemampuan mengubah keadaan diri menjadi lebih baik, baik bagi masing-masing pribadi maupun secara agregat bagi masyarakat dan bangsa. Kesadaran dan kemampuan mengubah diri itu perlu kejernihan dan kebersihan hati. Maka, sungguh tepat bila peringatan kemerdekaan sekarang dipertemukan dengan Ramadhan.

Tidak sekadar mempertemukan Agustus dengan Ramadhan, Allah pun mempertemukan tanggal 17 dari dua bulan berbeda itu. Bagi umat Islam Indonesia, tanggal ini tak semata Hari Kemerdekaan 66 tahun silam. Tanggal ini juga menjadi hari turunnya ajaran kebenaran berupa ayat Quran pertama, sekitar 1.400 tahun silam, yakni tahun 611 Masehi. Ada apa di balik fenomena ini?

Tanggal 17 Agustus-Ramadhan ini boleh jadi memang momentum yang diturunkan Allah SWT untuk bangsa ini. Jadilah manusia merdeka! Bersihkan diri dengan cahaya Qurani! Bangunlah menjadi pribadi, masyarakat, dan bangsa yang benar-benar bermartabat, khususnya bagi para politikus, pengendali birokrasi, dan pemegang lain amanah rakyat. Allah bahkan menghadirkan Nazaruddin yang jelas-jelas menyandang nama ‘Mohammad’, untuk menunjukkan betapa bobrok kita sebagai bangsa. Dengan kasus Nazaruddin, keadaan memang sedikit lebih baik. ‘Belanja’ atau ‘bancakan’ proyek lewat kolusi legislatifeksekutif terhenti untuk sementara. Semoga bukan hanya di Ramadhan ini, melainkan seterusnya. Semoga orangorang baik yang terlena oleh nikmatnya ‘bancakan proyek’ juga kembali ke fitrahnya bersamaan dengan menjelangnya Idul Fitri ke depan. Itu yang akan membantu agar cita-cita merdeka 66 tahun lalu dapat terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar