Selasa, 14 Juni 2011

Kisruh Tentang Bendera

Republika, Selasa, 14 Juni 2011
Menyikapi Bendera Secara Adil
Oleh Sutardi
Ketua Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah

Baru-baru ini sekolah-sekolah di bawah yayasan kami ini diancam oleh Bupati Karanganyar, Rina Iriani, untuk dicabut izinnya, hanya karena sekolah ini ingin menyikapi bendera kebangsaan secara adil dan proporsional.  Sekolah-sekolah di bawah Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah Tawangmangu ini sudah melayani kepentingan masyarakat selama 16 tahun.

Kegiatan utamanya mendidik ratusan anak menjadi insan Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, jujur, antikorupsi, antikriminal, dan disiapkan untuk ikut memperbaiki keadaan Indonesia. Sasaran utamanya anak-anak dari keluarga miskin. SMP-nya bahkan tidak memungut biaya sama sekali.

Pekan lalu, Bupati Rina menyampaikan ancamannya lewat media massa, baik cetak maupun elektronik, padahal beliau belum bertemu langsung dan menanyakan duduk perkaranya kepada sekolah Al-Irsyad. Bagi pendidik seperti kami, tindakan "main ancam" lewat media massa seperti ini lebih mirip manuver politik, ketimbang sikap mengayomi seorang kepala daerah.

Bagi lembaga pendidikan seperti Al-Irsyad, polemik semacam itu sama sekali tidak menguntungkan bagi berjalannya proses pendidikan anak-anak kita.  Tulisan ini tidak memiliki maksud selain mendudukkan perkara seadil-adilnya. Jika dicermati dengan baik, masyarakat akan bisa melihat bahwa reaksi Bupati Rina terhadap pernyataan Ketua Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah Tawangmangu sebagai reaksi yang berlebihan, karena beberapa alasan:

Pertama, sejak berdirinya sampai hari ini TK, SD, dan SMP Al-Irsyad masih mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa mereka hidup di sebuah negeri ciptaan Allah Ta'ala, yang rakyatnya bersepakat untuk menamai negaranya dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rakyat juga bersepakat memiliki konsensus nasional bernama Pancasila sebagai aturan hidup bersama, dan rakyatnya bersepakat bahwa bendera dwi-warna Merah Putih merupakan bendera kebangsaan, serta bersepakat bahwa gambar burung Garuda merupakan lambang negara. Tidak kurang tidak lebih.

Kedua, sampai hari ini, TK, SD, dan SMP Al-Irsyad Tawangmangu masih mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa konsekuensi berbagai kesepakatan di atas adalah di antaranya murid-murid itu akan mengikuti peraturan dan undang-undang yang berlaku. Misalnya, menaati aturan lalu-lintas, membayar pajak, tidak korupsi, tidak melanggar hukum, dan secara aktif terus-menerus ikut memperbaiki peraturan dan undang-undang tersebut agar semakin baik dalam menjaga kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara.

Khusus mengenai sikap Yayasan Al-Irsyad terhadap bendera kebangsaan, dasar dari sikap ini sederhana: kita tidak ingin menanamkan di hati dan benak anak-anak suatu kemuliaan dan sikap penghormatan kepada sesuatu yang nisbi. Menghormati dan menaati Allah dan Rasul-Nya itu mutlak.

Membela negara yang ikut menjaga dan memelihara iman kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, sedangkan menghormati selembar kain adalah nisbi. Sama dengan mengormati batu, pohon, sungai, dan lain-lain.

Tanpa diperintahkan oleh siapa pun, TK, SD, dan SMP Al-Irsyad Tawangmangu mengibarkan bendera Merah Putih di pekarangan sekolah ini setiap hari. Ini merupakan  bentuk pengakuan bahwa sekolah ini, termasuk jajaran pengajar, staf, dan seluruh muridnya, merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar dan adil.

Namun, mewajibkan murid-murid untuk mengangkat tangan dan meletakkannya di atas kening untuk membuktikan bahwa mereka "mencintai bangsa dan negara ini", lalu mengancam akan mencabut izin sekolahnya kalau tidak melakukannya, adalah tindakan yang berlebihan. Soalnya, penghormatan simbolis yang nisbi seperti itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang perilaku sehari-harinya justru mengkhianati negeri ini, misalnya lewat korupsi, kolusi, nepotisme, dan manipulasi jabatan yang merugikan keuangan rakyat dan negara.

Jalan keluar dari semua ini adalah Bupati Rina sebaiknya menghentikan ancaman-ancaman kepada rakyatnya, kecuali kepada rakyat atau pejabat yang mengorupsi uang negara atau melakukan tindak kejahatan yang melanggar undang-undang, dan merugikan kepentingan umum. Akan jauh lebih simpatik jika sebagai kepala daerah membuka dialog langsung dengan jajaran Yayasan Khusus Al-Irsyad dan sekolah lain yang bersangkutan.

Setelah duduk bersama dan berdialog, bila tidak ada aturan hukum dan perundang-undangan yang dilanggar, sikap Yayasan Khusus Al-Irsyad Al-Islamiyah terhadap bendera sebaiknya diterima sebagai bagian dari kekayaan dan keragaman masyarakat, jangan disikapi dengan permusuhan.

Sesudah itu, jauh lebih baik jika kita bersama-sama mengerahkan energi, pikiran, dan waktu kita untuk memperbaiki hal-hal yang lebih penting, terkait keadaan pendidikan di Karanganyar yang masih jauh dari memadai. Jumlah penderita buta huruf yang masih tinggi. Belum cukupnya pendidikan yang mengarah ke sektor pertanian padahal Karanganyar merupakan kawasan agraris. Belum cukupnya jumlah sekolah untuk anak-anak dari keluarga miskin. Tingginya jumlah guru yang terlibat utang riba di bank-bank karena penghasilannya kurang memadai.

Hal-hal seperti itu jauh lebih perlu untuk mendapatkan perhatian serius Bupati Rina. Di sisa masa jabatan yang tinggal sebentar lagi, sebaiknya jangan terlalu banyak menghabiskan energi dan pikirannya bagi perkara yang kurang menyentuh hajat hidup masyarakat seperti "hormat bendera", yang duduk perkaranya sudah jelas sejak kita merdeka 66 tahun yang lalu. Wallahu a'lam bish-Shawaab, dan Allah lebih mengetahui sedetail-detailnya.

Republika, Senin, 13 Juni 2011
Hormat Bendera,Bolehkah?
Yusriandi Pagarah
Pengamat Sosial-Keagamaan
Koordinator Sumpur Kudus Institute Yogyakarta

Sutardi, kepala Sekolah SMP Al-Irsyad Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mengeluarkan pendapat yang terbilang berani. Menurutnya, mengangkat tangan untuk menghormati sang saka Merah Putih, bendera nasional Indonesia, tergolong musyrik dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pendapat kepala sekolah itu pun menggelinding ke mana-mana dan mendapat respons yang beragam dari berbagai kalangan.

Sikap-sikap melecehkan simbol negara sendiri bukanlah hal baru. Salah satu yang masih lekat di lekuk ingatan kita adalah apa yang dilakukan oleh Abdur Rauf, warga Amerika keturunan Afrika (Afro-Amerika), pada Maret 1996 silam. Ia menolak berdiri ketika lagu kebangsaan Amerika diperdengarkan sebelum pertandingan bola basket NBA dimulai. Menurutnya, lagu kebangsaan Amerika-dan juga bendera nasionalnya- merepresentasikan sejarah penindasan dan perbudakan warga Amerika terhadap keturunan Afrika. Baginya, berdiri untuk menghormati simbol penindasan dan perbudakan tersebut melukai perasaannya sebagai seorang Muslim dan keturunan Afrika.
  
Berselang dua empat jam kemudian, Abdur Rauf meralat pendapatnya dan meminta maaf. Kendati demikian, pengelola liga basket profesional Amerika tidak bisa menoleransi dan segera menjatuhkan sanksi, yakni melarang Abdur Rauf berkiprah di liga basket Amerika. Waktu kejadian itu, Abdur Rauf bermain untuk Vancouver Grizzlies, klub basket yang bermain di kasta tertinggi liga basket Amerika (NBA). Setelah kejadian tersebut, ia hijrah dan bermain basket di Turki (Pagarah, 2011: 194-195).            

Kontan saja perbuatan Abdur Rauf itu menyulut perdebatan panjang di Amerika dan berbagai negara Muslim. Di tengah pro-kontra itu, di Amerika muncul sebuah organisasi keagamaan yang menamakan dirinya SAS (The Society for Adherence of Sunnah) atau Masyarakat Taat Sunnah. Melalui sebuah fatwa, organisasi keagamaan yang dipimpin A Idris Palmer dan berpusat di Washington DC itu membenarkan sikap Abdur Rauf. Menurut SAS, Islam melarang kaum Muslim menghormati simbol-simbol non-Muslim. 

Bila dicermati, wacana Islam kontemporer, terutama yang diperlihatkan kaum puritan atau Islam populer, terbuhul pada dua tema besar, yakni perlawanan terhadap segala simbol Barat/tidak Islami dan menggusur perempuan dari ranah publik. Untuk mendukung pendapatnya, mereka lebih banyak bersandar pada tradisi kenabian dan para sahabatnya ketimbang dari Alquran.

Dalam pelbagai kitab hadis, riwayat-riwayat yang melarang menggerakkan anggota tubuh kepada selain Allah SWT, berasal dari Anas ibn Malik, Abu Umamah al-Bahili, dan Abu Mijlaz. Menurut para ulama, riwayat-riwayat yang bersumber dari Anas dan Abu Umamah itu secara kualitas dan kuantitas mengidap permasalahan, yakni bertransmisi tunggal dan janggal bagi perawi tertentu.

Dalam studi hadis, riwayat seperti itu tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah-masalah mendasar, kecuali ada dukungan dari riwayat yang lebih kuat. Sementara riwayat-riwayat dari Abu Mijlaz, termasuk dalam "hadis-hadis politik" karena banyak memoles sosok Muawiyah sebagai orang yang tidak haus terhadap kekuasaan. Menurut Fazlur Rahman (1994: 113), "hadis-hadis politik", meskipun termuat dalam kompedium Bukhari-Muslim, belum tentu benar-benar berasal dari Nabi karena sangat kecil beliau berperan dalam proses kemunculannya.      

Abou El Fadl mengevaluasi suara kepengarangan Nabi dan mengidentifikasi sejauh mana peran beliau melahirkan riwayat-riwayat tersebut. Setelah melakukan evaluasi dan identifikasi, ia berkesimpulan bahwa Nabi tidak berperan dan tidak terlibat dalam proses kelahiran hadis-hadis yang melarang menggerakkan anggota tubuh kepada selain Allah SWT.

Abou El Fadl melanjutkan, andaipun riwayat-riwayat tersebut otentik, tidak serta-merta dapat diterapkan langsung dalam kehidupan. Menurutnya, setidaknya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, ditinjau dari struktur, terutama yang dikaitkan dengan Muawiyah, hadis tersebut ditujukan kepada pemimpin, bukan kepada bawahan. Disebutkan bahwa siapa yang senang  orang lain berdiri untuknya, ia akan celaka dan tempatnya kelak di neraka. Menurut Iman Thabari dan Iman Nawawi, hadis ini sesungguhnya meminta para pemimpin untuk bersikap rendah hati dan tidak meminta bawahannya menghormatinya secara berlebihan.

Kedua, hadis tentang larangan berdiri berkaitan dengan masalah tata krama, bukan dengan masalah ibadah. Perlu diketahui, hadis tersebut hanya terdapat dalam kompedium Turmudzi dan ditaruh dalam bab mengenai tata krama. Dengan demikian, berdiri untuk menghormati seseorang, kecuali dalam pemakaman, sebenarnya tidak termasuk dalam subjek penelitian hukum. Ringkasnya, hadis berdiri ini sesungguhnya tidak berkaitan dengan masalah hukum haram atau makruh.

Ketiga, berkaitan dengan logika hukum yang digunakan. Terlepas riwayat-riwayat tersebut termasuk kategori ibadah atau tata krama, sebenarnya ada persoalan lain yang harus dijawab, yakni dapatkah riwayat-riwayat itu dijadikan dalil bagi boleh tidaknya seseorang berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan dan bendera nasionalnya?

Di sini akan digunakan dua penalaran hukum yang jamak digunakan dalam tradisi hukum Islam, yakni analogi berdasarkan kesamaan sebab operatifnya dan analogi berdasarkan kesamaan tujuannya. Jika diperhatikan, analogi yang digunakan dalam masalah ini tidak sama sebab operatifnya karena alasan berdiri untuk menghormati seseorang, seperti Nabi dan sahabat, tidaklah sama dengan berdiri untuk menghormati musik, lagu, ataupun bendera. Begitu juga bersujud atau membungkuk untuk menghormati seseorang tidaklah sama dengan membungkuk atau bersujud untuk menghormati lagu kebangsaan atau lagu nasional.

Selain mengkritisi dalil-dalil yang dijadikan sandaran pendapat dan memeriksa logika berpikir yang digunakan, Abou El Fadl juga membeberkan peristiwa-peristiwa 'menggerakkan anggota tubuh kepada selain Allah SWT' yang terjadi pada zaman Nabi. Diriwayatkan, para sahabat kerap berdiri untuk menyambut kedatangan Nabi maupun melepas kepergiannya. Nabi pun pernah menginstruksikan Bani Quraizhah berdiri menyambut kedatangan Sa'ad ibn Mu'adz.

Di samping itu, beliau pun berdiri untuk menyambut kedatangan Fatimah, 'Ikrimah ibn Abu Sufyan, saudara sesusuannya, dan rombongan jenazah. Bahkan, dalam sebuah riwayat yang populer disebutkan Nabi berdiri ketika pemakaman perempuan Yahudi. Ketika diberi tahu bahwa yang meninggal seorang Yahudi, jawaban Nabi, "Tetapi, bukankah ia juga seorang makhluk Tuhan!"

Senin, 13 Juni 2011
Hormat Bendera: Perbuatan Syirik?
Naufil Istikhari Kr
Peneliti Muda Nahdhatul Falasifah Community, UIN Yogyakarta.

Sepekan terakhir, muncul kabar mengejutkan bahwa ada sekolah yang tidak mau melakukan upacara dan penghormatan kepada bendera Merah Putih. Alasannya, menghormati bendera termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) yang wajib dihindari. Fenomena yang terjadi di salah satu sekolah dasar di Solo dan Karanganyar itu adalah bukti nyata melemahnya perekat dalam persatuan Indonesia.

Ini tantangan mendasar yang tak boleh dibiarkan begitu saja. Persatuan Indonesia harus diterjemahkan ke dalam bentuk kerelaan interpersonal dalam menjalankan aktivitas berbangsa dan bernegara yang bertitik tolak pada dimensi aktual nilai-nilai partikular pancasila plus nilai-nilai universal agama. Nilai partikular pancasila tak lain adalah selalu mendasarkan pada makna falsafah yang terkandung di dalamnya bagi segenap rakyat Indonesia tanpa pandang bulu, sementara nilai universal agama dijadikan logika pertimbangan dalam dimensi apa saja, termasuk berpancasila.

Menyikapi kelompok semacam itu, tidak boleh mengedepankan egosentrisme. Artinya, perlu analisis ilmiah dan pendekatan agama sebagai kendaraan menuju jalan terang tanpa mendatangkan masalah baru. Dalam konteks Pancasila, menghormati bendera tidak tertulis secara tekstual dengan jelas, juga dalam isi Sumpah Pemuda 1928. Hanya saja, komitmen persatuan yang secara kasat mata sebagai bahan acuan harus menjadi prioritas utama.

Dalam konteks agama, persatuan adalah kewajiban manusia yang mesti diperjuangkan. Mengikuti peraturan pemerintah, wajib hukumnya selama tidak bertentangan dengan nilai agama. Jika diakui secara jujur, menghormat bendera bukanlah peraturan pemerintah, melainkan sebentuk kesadaran kolektif yang tumbuh sebagai ritus aktual dalam berbangsa dan bernegara. Jika ditarik ke ranah teologi, menghormati bendera akan berimplikasi pada munculnya tanda tanya besar: benarkah menghormati bendera dengan sepenuh jiwa tergolong perbuatan menyekutukan Tuhan atau syirik?

Kerangka Teologis
Menurut Ibnu Taimiyah, hakikat agama Islam adalah wahyu yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Dasar yang paling pokok adalah beribadah kepada Allah dan internalisasi tauhid. Alquran dan al-Sunnah di dalamnya telah tercakup seluruh persoalan agama, baik yang berkaitan dengan akidah dan ibadah maupun masalah muamalah dan sebagainya.

Sayangnya, banyak yang mengeneralisasi bahwa tauhid mencakup ritus-ritus praksis menyangkut kecintaan terhadap Tanah Air dan praktik simbolis yang biasa dilakukan kita sehari-hari. Imam al Ghazali menyebut tauhid sebagai upaya menancapkan keyakinan dalam hati bahwa sejatinya Tuhan itu Esa. Yang perlu dipertegas di sini bahwa tauhid bukan bermakna sekadar simbolik. Tauhid harus benar-benar merasuk ke dalam jiwa seseorang tanpa terjebak pada semesta simbol.

Proses simbolik, semisal sujud, tasbih, dan sebagainya merupakan langkah kedua setelah seseorang bertauhid. Namun, aspek tersebut bukan menjadi wilayah akidah lagi, melainkan sudah masuk pada tugas syariat. Jika demikian, persoalan syirik atau tidak bukan lantas menjadi legitimasi umum yang mencakup segala aspek tanpa merujuk pada keyakinan personal.

Tauhid selalu dikontraskan dengan syirik atau politeisme. Masih menurut Al-Ghazali, keyakinan kepada transendensi Tuhan terletak pada hati nurani. Artinya, pergeseran tauhid hanya bisa terjadi jika keyakinan dalam hati juga ikut bergeser. Dalam konteks hormat pada bendera, ada dua kemungkinan yang bisa memantik pergeseran keyakinan tadi.

Pertama, jika seseorang menghormati bendera berdasarkan keyakikan teologis bahwa bendera itu sakral dan memiliki kedudukan hampir sama atau bahkan menyamai Tuhan, jelas ini tidak boleh dilakukan karena akan menjerumuskan pelakunya kepada perbuatan syirik.

Kedua, jika upacara yang dilakukan hanya sebentuk apresiasi kecintaan terhadap Tanah Air dan perwujudan identitas berbangsa dan bernegara, mengapa bisa dikategorikan syirik? Pada tataran ini, jelas ada generalisasi terhadap makna syirik dan masifikasi terhadap praktik-praktik simbolik. Padahal, basis agama tidak bisa selalu dikait-kaitkan terhadap wilayah sosial dan budaya. Artinya, agama tidak seharusnya dijadikan alat legitimasi yang serampangan dalam menilai permasalahan yang kian kompleks.

Mendudukkan agama sebagai kerangka teologis-transformatif akan membuat siapa saja lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan. Sekarang duduk persoalannya sudah jelas: menghormati bendera tidak bisa disamakan dengan menyembah yang berakibat pada politeisme. Dengan demikian, misi Islam sebagai agama rahmatan lil-'alamiin dapat diejawantahkan dengan mudah dan dapat diterima semua kalangan.

Selanjutnya, selain mendudukkan agama sebagai kerangka teologis secara proporsional, upaya menumbuhkembangkan spirit pancasila mutlak diperlukan. Saya rasa, "Persatuan Indonesia"-lah yang mendapat banyak sandungan di tengah perjalanan bangsa ini. Mulai dari persoalan separatisme, terorisme, NII hingga tidak mau menghormati bendera lagi.

Langkah tegas pemerintah dalam mengomparasikan aspek agama, negara, dan pancasila merupakan kunci jawaban yang diharapkan bisa segera diriilkan dengan tepat dan bijak. Memang, fenomena seperti di atas bukan masalah besar yang harus dibesar-besarkan. Namun, justru akan menggelembung dan membesar jika tidak disikapi dengan bijaksana. Di sinilah pentingnya "Persatuan Indonesia" dicarikan perekat ontologisnya secara menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar