Jumat, 27 Mei 2011

Telepon, Pancasila, dan Kesalehan

Oleh: Mohamad Sobary
Budayawan
Republika, Senin, 23 Mei 2011

"Telepon kita sudah nyambung. Horee … horee," teriak anak pertama saya ketika petugas Telkom datang ke rumah memberitahukan tersambungnya fasilitas "mewah" yang kami nanti-nantikan sejak lama itu. Petugas memberitahukan ini dan itu dan segenap detail teknis yang dia kira kami dengarkan. Tidak. Tak ada yang mendengarkannya. Hati saya sudah tertambat pada telepon pribadi itu. Istri saya tampak lega. Anak-anak sangat histeris kegirangan. Maklum, anak-anak.

"Aku nyoba, aku nyoba." Teriak anak kedua saya.
Tetangga sebelah bahkan kedengaran lebih histeris ketika mencoba melakukan komunikasi perdana untuk menelepon kami. Anak-anak selalu berebut lari menuju ke pesawat telepon tiap saat terdengar telepon berdering. Yang kecil, ketika kalah berebut dengan kakaknya, menangis.

Sejak ada telepon, mereka lebih sering bertengkar. Anak keduaku, yang belum masuk TK, sering berlagak menjadi sekretaris seperti dilihatnya dalam film telenovela, "Inez Sang Sekretaris". Dia makin cekatan menjawab telepon.

Itu terjadi mungkin pada tahun 1994, atau 1995, sesudah-sekali lagi-lama sekali kami menunggu. Rumah kami di daerah Ciater yang dengan gurau sering saya sebut "di luar batas" Republik. Di sana, taksi belum ada. Agen koran belum ada. Telepon umum apa lagi.

Bagi kami, sungguh lain. Undangan seminar, undangan rapat, urusan pengajian, dan hal-hal lain di luar rumah menjadi lebih mudah berkat fasilitas telepon. Dunia yang sudah beberapa abad lalu modern, baru terbuka-tapi saya mengatakannya "sudah" terbuka-bagi kami, warga satu kompleks itu. Isolasi budaya lenyap bagai embun ditimpa sinar matahari. Dan kami sudah boleh merasa menjadi bagian dari dunia modern.

Lain lagi ketika kuliah di Monash, Australia, beberapa tahun sebelumnya, kami, mahasiswa, tak bisa leluasa menelepon keluarga di Tanah Air. Sambungan jarak jauh, yang internasional sifatnya, mahal sekali. Kami memang bisa menelepon siapa saja, tapi selalu dengan rasa cemas, jangan-jangan biayanya mahal sekali. Kantong mahasiswa, di Australia, digolongkan kantong orang miskin.

Kebutuhan akan saluran telepon internasional yang murah dan bisa dijangkau kantong orang miskin sudah lama dirasakan. Pemerintah yang diminta menjawab kebutuhan itu. Pemerintah hadir buat menyelenggarakan dengan baik, adil, dan merata segenap pelayanan kepada rakyat. Pemerintah dibuat dan para pemimpin dipilih untuk menjamin rasa aman dan rasa tenteram dalam masyarakat. Caranya, kebutuhan masyarakat dipenuhi.

Juga kebutuhan warga negara yang di luar  negeri. Banyak pihak memandang makna "luar negeri" itu seperti hantu mengerikan. Luar negeri seolah ancaman pengaruh buruk bagi ideologi kita. Ada seorang doktor yang menceritakan kekhawatirannya karena dalam kuliah-kuliahnya dulu disodorkan berbagai buku yang disebutnya "kiri" dan "ekstrem".

"Saya khawatir, bacaan Marxisme terlalu banyak yang harus saya tekuni. Di mana Pancasila saya harus saya taruh?" katanya, seperti seorang patriot sejati.

Saya tak bisa memahami kekhawatirannya meskipun saat itu pemerintah Orde Baru sangat gencar bicara Pancasila, seolah Pancasila itu warisan keluarga untuk satu kelompok penguasa semata. Bagaimana membaca Marxisme dianggap mengancam Pancasila? Itulah produk sebuah zaman yang kaku, doktriner, dan takut terhadap apa yang asing, luar negeri dan dunia Barat.

Barat, tampaknya harus diwaspadai, jangan sampai unsur-unsur Barat itu merasuk terlalu dalam agar Pancasila tak otomatis tercabut dari jiwa kita. Sayang, kita tidak tahu, seberapa kuat Pancasila menempel di bajunya. Suara agama lain lagi. Agama selalu bicara dengan cemas agar iman dan kesalehan tak luntur oleh pengaruh  godaan duniawi. Dan dunia Barat dianggapnya sarang godaan duniawi itu. Orang saleh takut kesalehannya luntur di dunia Barat yang dianggapnya keparat? Ini soal anggapan dan penilaian pribadi?

Maka, bagi orang-orang dalam kategori ini, tak mudah melepaskan anak-anaknya— terutama anak perempuan—ke luar negeri jika tak ingin iman dan kesalehan mereka hilang di tengah ‘gelombang’ dunia yang tak merasa risau apa pun yang terjadi pada agama. Kaum Feminis boleh kecewa, dan pasti kecewa, dengan cara pandang ini, tapi inilah kenyataan.

Jika sambungan layanan telepon langsung internasional kita sudah meluas, tak mungkin biaya telepon ke luar negeri semahal sekarang. Dengan biaya telepon internasional yang murah, orang tua akan selalu bisa 'mengontrol' gerak-gerik anaknya di luar negeri.

Jika ini yang terjadi, jurang kaya-miskin mungkin akan tampak agak tertutup karena  'diuruk' dengan pelayanan publik yang baik dan memadai. Tapi dapatkah telepon, Pancasila, dan kesalehan itu menjadi kekuatan yang saling menyangga?

Saya tidak tahu. Tetapi saya tahu, pemerintah didesak untuk memenuhi tuntutan pasar yang menghendaki dibangunnya saluran telepon internasional yang murah dan baik sekarang juga. Rakyat yang meminta atas tuntutan kebutuhan sehari-hari yang semakin canggih. Dan rakyat harus dilayani dengan baik.

Sekarang, telepon sudah menjadi kebutuhan vital bagi semua warga negara. Di era telepon genggam, yang mudah dibeli dan murah, kita tahu bahwa sumber daya manusia kita sudah menjadi kapital besar yang menunjukkan bahwa rakyat siap menyambut hadirnya saluran telepon internasional tersebut buat melengkapi, atau menyempurnakan apa yang sudah mereka miliki.

Selebihnya urusan dagang. Tak peduli siapa pun yang menguasai saluran internasional itu yang penting saluran itu ada. Kebutuhan mereka hanya satu: pelayanan yang murah dan kualitas baik. Syukur jika murah sekaligus mudah.

Iman dan kesalehan itu urusan batin: sesuatu yang otonom. Kita tak yakin ia mudah luntur hanya karena kita di negeri Barat yang tak ada NU-nya. Dan kita pun tak yakin, bacaan yang disebut 'kiri' atau 'ekstrem' memudarkan Pancasila?

Maka, biarkanlah telepon, Pancasila dan kesalehan menempati dunianya masing-masing. Tapi, jika saluran telepon tak bisa memperdekat kita dengan kesalehan dan iman, tak berarti tuntutan kebutuhan akan saluran telepon internasional dengan mudah kita lupakan.
Republika, Jumat, 27 Mei 2011 pukul 09:49:00

Pancasila dan 'Nalar' Keagamaan Kita


KH Said Aqiel Siradj
Ketua Umum PBNU

Berdirinya NKRI bukanlah sesuatu yang tercerabut dari sejarah. Jauh sebelumnya, sejak kehadiran kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kemudian diteruskan kerajaan-kerajaan Islam sekitar abad ke-13-16 M, sejarah bangsa dan negara kita sudah terukir selama berabad-abad. Lahirnya Pancasila sebagai dasar negara merupakan penjasadan nilai-nilai yang digali dari pengalaman sejarah tersebut. Demikian pula, semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas banyak unsur etnik beserta adatnya, bermacam agama dan aliran kepercayaan dan lingkungan yang berbeda, maka kesatuan merupakan nilai dan pagar yang sangat penting. Proses integrasi untuk mewujudkan kesatuan ini memegang peranan yang sangat fundamental. Proses integrasi pada hakikatnya perlu dibidikkan agar memberi makna kepada hidup manusia Indonesia.

Sementara itu, kebudayaan nasional mengandung makna totalitas, karena di dalamnya terdapat banyak unsur sehingga mengandung banyak persoalan. Setiap kebudayaan mencakup tiga lingkup persoalan hidup, yaitu menghadapi diri sendiri, sesama dan bangsanya, alam sekitar, dan Tuhan.

Titik kompromi
Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Terlebih maraknya kembali radikalisme keagamaan, seperti terorisme dan NII, sontak hendak memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama. Diakui atau tidak, hingga kini sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, serta menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik.

Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan tersebut dilakoni para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencarian identitas bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara-bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.

 Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni di atas dasar apa negara Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama, yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme sekuler.

Dari naskah sidang-sidang BPUPKI, kelihatan perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Dan, akhirnya sejarah mencatat, perdebatan itu berakhir pada satu titik "kompromi". Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu.

Begitulah, Pancasila merupakan konsensus pada saat terjadi perdebatan yang sangat alot mengenai dasar negara; antara yang menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler dan agama. Para tokoh umat Islam dengan berbesar hati menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya menganut satu agama atau kepercayaan. Secara fikih, Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih al-ashlu fil assya\' al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, yakni sesuatu itu tidak dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama berhasil memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang berkarakter religius, namun bukan negara agama. Dan, ajaran Islam telah merasuk ke dalam Pancasila.

Dalam Muktamar Situbondo 1984, NU telah menegaskan Negara RI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk final dari perjuangan umat Islam, dan tidak bisa diganti dengan Negara Islam. Karena itu, NU menetapkan Pancasila sebagai asas organisasinya. Begitu pula, ketika negara otoriter Orde Baru berusaha memecah-belah kekuatan rakyat, serta membatasi berbagai kelompok agama, etnis, dan ras tertentu, NU tampil sebagai pembela rakyat tertindas dan kelompok-kelompok minoritas.

Ini berdasarkan rujukan kitab I'anah al-Thalibin tentang jihad sebagai "daf'u dlarar ma'shumin musliman kana aw ghaira muslim" (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim). Daniel Dhakidae pada pertengahan 1990-an bahkan penah menyebut NU sebagai "tha last bastion of civil society", benteng terakhir masyarakat sipil menghadapi negara.

Kita paham bahwa pada masa Orde Baru, Pancasila hanya menjadi milik pemerintah. Rakyat tidak diperkenankan memberikan interpretasi terhadap Pancasila. Dan, celakanya lagi, Pancasila menjadi alat untuk membungkam orang-orang yang kritis, dengan vonis yang berbeda dengan pemerintah dianggap tidak Pancasilais. Kini, Pancasila telah dikembalikan kepada rakyat Indonesia. Inilah momen bagi rakyat untuk mengambil kembali miliknya, dan kemudian menempatkan Pancasila sebagai "tenaga dalam" demi membangunkan kembali bangsa Indonesia dari masa krisis.

Pancasila adalah landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multietnik, multiagama, ribuan pulau, dan kaya sumber daya alam. Ia merupakan titik pertemuan (nuqthotul liqo') yang lahir dari suatu kesadaran bersama pada saat krisis. Dan, kesadaran ini muncul dari kesediaan berkorban demi kepentingan yang besar membentuk negara besar.

Dinamika perubahan zaman telah memberi pengaruh yang luar biasa bagi perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat. Globalisasi, kapitalisme, dan liberalisme telah menciptakan "budaya" baru yang kerap justru mengurangi dan merengsek nilai-nilai adiluhung bangsa. Bangsa kita yang tampak mudah terpengaruh, mudah menyerap gaya hidup budaya lain khususnya yang datang dari Barat, membuat gonjang-ganjing resistensi budaya bangsa.

Stabilisasi dan produktivitas memang dua hal yang perlu diwujudkan di negeri kita. Pada masa Orba, stabilisasi menjadi fokus utama sehingga cenderung mengorbankan demokrasi. Pada masa reformasi, stabilisasi tergoyang oleh luapan demokratisasi di segala bidang. Yang terpenting sesungguhnya, di samping stabilitas negara, juga pemekaran produktivitas anak bangsa.

Dengan demokrasi, sebetulnya justru membuat masyarakat terpacu untuk meningkatkan kreativitas. Di sini, negara perlu mendorong dan memberikan fasilitasi yang lebih intensif dan ekstensif, sehingga rakyat menjadi bebas berekspresi secara positif-konstruktif. Bangsa tanpa kreativitas hanya akan membawa kemunduran.

Inilah tugas dan cita ke depan bagi bangsa kita. Pancasila akan tetap merupakan serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia bisa membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Dari sinilah, Pancasila sebagai pedoman bangsa akan menemukan efektivitasnya bagi penguatan jati diri, karakter bangsa, dan peningkatan produktivitas bangsa. Dengan begitu, pendaman khazanah budaya dan keragaman agama dapat menjadi "sumber mata air" bagi pembangunan peradaban bangsa.
 
Republika, Selasa, 24 Mei 2011 pukul 10:29:00

Al-Nakbah

Oleh Ahmad Syafii Maarif
Al-Nakbah istilah bahasa Arab, dibaca annakbah dan bermakna malapetaka, bencana, dan yang sejenis itu. Dalam Bahasa Inggris, perkataan holocaust semakna dengan perkataan Arab itu. Bencana yang dialami orang Yahudi di bawah Nazi Hitler selalu saja diulang-ulang oleh Israel untuk menunjukkan bahwa enam juta (banyak yang mempertanyakan angka ini) orang Yahudi di Eropa, telah dibinasakan sebagai perwujudan politik anti-Semitisme Hitler.

Ajaibnya, al-Nakbah adalah malapetaka yang ditimpakan oleh Israel atas rakyat Palestina pada 1948 dan seterusnya. Mereka dihalau dari tempat tinggalnya, dibunuh, hartanya dirampas, dan berlakulah apa yang disebut "pembersihan etnis". Istilah al-Nakbah mungkin pertama kali diciptakan oleh Prof Constantin Zureig dari Universitas Amerika Beirut dalam karyanya Ma'na al-Nakbah (Makna Malapetaka).

Dengan kata lain, kekejaman Hitler justru dibalaskan kepada rakyat Palestina yang tidak ada kaitannya dengan tragedi Yahudi di Eropa itu. Proklamasi berdirinya negara Israel pada 15 Mei 1948 adalah hari bencana dan berkabung bagi Palestina yang pada bulan ini mereka peringati di berbagai bagian dunia. Pada 1948 itu sekitar 750 ribu rakyat Palestina telah dihalau. Mereka kemudian mengungsi ke negara-negara tetangga akibat brutalitas tentara Israel. Tahun 2010, menurut data UNRWA (the United Nations Relief and Works Agency), jumlah pengungsi Palestina sudah membengkak menjadi lima juta manusia, tidak saja di negeri-negeri Arab, bahkan yang tersebar sampai ke Cile sejumlah 500 ribu.

Di Indonesia, malah ada segelintir orang yang buta peta kemanusiaan dengan bahagia memperingati ulang tahun Israel pada 15 Mei yang lalu. Sebagai bagian dari hak kebebasan berekspresi bisa saja itu terjadi, tetapi tuan harap ingat bahwa negara Israel didirikan atas tengkorak dan darah rakyat Palestina. Berekspresi gembira untuk 15 Mei ini sama dengan menyetujui politik pembersihan etnis Palestina oleh Israel yang masih saja berlangsung sampai hari ini. Jika demikian, di mana kemanusiaan kita, di mana hati nurani kita?

Saya yang sejak dua tahun terakhir mengikuti konflik Palestina-Israel ini sudah sampai kepada aksioma bahwa Israel dengan ideologi rasis Zionismenya, tidak akan pernah dapat dipercaya. Beberapa hari yang lalu, Benjamin Netanyahu sangat cemas dengan adanya deklarasi perdamaian Fatah dengan Hamas. Bagi kaum Zionis, yang selalu diupayakan adalah agar kedua faksi Palestina itu saling menghancurkan satu sama lain sehingga Palestina lenyap dari peta bumi. Golda Meir tahun 1969 dengan pongah mengatakan bahwa Palestina itu tidak ada. Jenderal Moshe Dyan mengakui terus terang bahwa berdirinya Israel memang melalui pengusiran rakyat Palestina.

Tetapi, satu hal yang perlu dicamkan adalah rakyat Palestina dengan segala penderitaan yang ditanggungnya tidak mungkin menyerah. Matthias Chang menulis di Global Research (19 Januari 2010) setelah berkunjung ke Jalur Gaza pada Januari 2010. Dia memberikan testimoni berikut ini. "Kaum Zionis di Israel dan di berbagai bagian dunia punya kecemasan dahsyat--cemas akan semangat pantang menyerah, sebuah senjata lebih dahsyat daripada bom nuklir. Palestina dan rakyat Palestina tidak mungkin ditaklukkan dan dikuasai."

Mengapa Israel cemas? Chang dengan mudah menjelaskan:  Israel tidak mungkin bertahan di atas kekuatannya sendiri. Pemimpin-pemimpin Israel, sejak dari David Ben-Gurion sampai kepada Ariel Sharon dan sekarang Benjamin Netanyahu dan Ehud Barak, sadar benar bahwa tanpa dukungan gabungan kekuatan militer dan keuangan tanpa batas dari Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa, Israel tidak pernah mampu melakukan ofensif militer manapun terhadap Palestina. Israel dapat melancarkan kejahatan perang dan berlepas diri darinya karena Amerika Serikat akan melakukan veto atas Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang mengkritik dan/atau mengutuk tindakan-tindakan Israel.

Kita tidak tahu untuk berapa lama lagi negara Zionis ini bisa menanggung kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran dalam mempertahankan proyek antikemanusiaan dan antiperdamaiannya, sebab kedustaan dan kebusukan pasti akan terbongkar, cepat atau lambat. Rakyat Palestina tidak takut dengan 200 hulu nuklir Israel.

Dengan segala kelemahan dan kemiskinannya, semangat juang rakyat Palestina tidak mungkin ditindas dan dipadamkan. Al-Nakbah yang dipaksakan atas dirinya hanyalah akan menjadikan bangsa ini semakin tahan bantingan sejarah. Sekali Amerika dan negara Barat lainnya berlepas tangan atas nasib Israel, negara Zionis itu akan tumbang. Sebuah negara dengan fondasi rasisme dan diskriminasi di atas tanah rampokan tak akan tahan lama!