Kamis, 02 Juni 2011

Keruntuhan Moral Elite Politik

Republika, Selasa, 31 Mei 2011

Ahmad Syafii Maarif

Pada 26 Mei 2011 pagi, Pak JEH (Junus Effendi Habibie) telepon saya dan menyampaikan kegusarannya yang sangat dalam tentang semakin memburuk dan merosotnya moral elite politik Indonesia. Artinya, masalah penilaian tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, telah semakin longgar dan kabur. Dikatakannya, jika moral sudah tidak ada, apa lagi yang masih tersisa pada diri seseorang.

Saya jawab, sudah tidak ada lagi yang tersisa, kecuali kebobrokan. Contoh yang diberikannya adalah kasus yang menimpa mantan bendahara umum PD (Partai Demokrat) yang disikapi berbeda oleh petinggi partai itu. Ada yang masih membela, ada pula yang setuju diberi sanksi. Sanksi memang sudah dijatuhkan, tetapi masih dihibur dengan perkataan: dia masih tetap sebagai kader partai.

Kata JEH, masalah hukum biarlah berjalan sebagaimana mestinya, tetapi masalah moral dan etika tidak boleh dibiarkan terus meluncur, jika saja elite partai politik masih punya kepekaan moral. Bila kepekaan itu sudah menghilang, runtuhlah seluruh bangunan integritas seseorang. Kepura-puraan dan bermanis bibir sengaja ditampakkan demi menutupi keborokan moral yang telah menggerogoti konstruksi batinnya.

Sebenarnya, sekiranya saya tidak menerima telepon di atas, tulisan ini tidak akan pernah muncul. Tetapi, JEH begitu prihatin tentang masalah moral ini. Rasanya tidaklah elok saya mendiamkannya untuk kepentingan publik, sekalipun sebenarnya sudah hampir tak berselera lagi mengomentari perilaku para elite negeri ini. Retorika sebagai teknik menutup kenyataan yang busuk dengan berbagai cara seolah-olah telah menjadi norma keseharian bangsa ini.

Orang yang seperasaan dengan JEH hampir merata di mana-mana, di kota dan di desa. Kepercayaan publik kepada para elite telah semakin sirna dari waktu ke waktu, termasuk kepercayaan kepada pemerintah yang dinilai tidak tanggap terhadap masalah-masalah yang sedang membebani bahu bangsa ini. Peraih hadiah Nobel tahun 1970, sastrawan Rusia Aleksandr Solzhenitsyn, dalam sebuah novelnya pernah menulis ungkapan dalam bentuk pertanyaan: jika moral dan etika telah meninggalkan diri seseorang, apa lagi yang tersisa pada orang itu?

Apa yang diingatkan oleh pujangga Ronggowarsito tentang zaman edan tampaknya selalu berulang sepanjang masa. Jika tidak turut edan, tidak mendapat apa-apa, tetapi sikap eling (ingat) yang dapat membawa keselamatan. Di saat mulai gencarnya orang menyebut Pancasila yang memang sudah telantar sekian lama, sekaranglah waktunya kita semua menjadi eling agar moral yang rusak itu secara berangsur dapat diperbaiki, sebelum segala sesuatu menjadi sangat terlambat.

Kritik publik terhadap berbagai ketimpangan moral itu tidak kurang, tetapi perbaikan tak kunjung datang. Sebagai bagian yang menyatu dengan kejatuhan moral itu, negara sudah lama menjadi sapi perahan. Saya dengar, misalnya, kondisi jalan di Jawa Tengah sudah banyak yang rusak akibat anggarannya telah disunat. Sekiranya 60 persen saja dana yang diperuntukkan bagi perbaikan jalan itu digunakan, daya tahan jalan akan jauh lebih lama. Tetapi, pragmatisme tuna-moral telah membutakan mata dan menutup hati sebagian orang sehingga tidak mau lagi berpikir jauh ke depan untuk kepentingan yang lebih besar.
   
Wartawan yang sering bertanya tentang berbagai masalah, kadang-kadang saya jawab saja: tak punya selera lagi untuk beri komentar. Mungkin sikap seperti ini tidak baik, tetapi di saat-saat tertentu terasa sekali kelelahan batin untuk menjawab pertanyaan wartawan. Itulah sebabnya, sekiranya Pak JE Habibie tidak menelpon saya untuk menyatakan kerisauannya tentang moral elite yang semakin merosot ini, seperti tersebut di atas, tulisan semacam ini tidak akan sampai kepada pembaca.

Tetapi, di atas itu semua agar tidak terus larut dalam kegundahan, kita harus percaya bahwa jumlah orang baik di kalangan anak bangsa ini masih cukup tersedia. Pada saatnya mereka tentu akan tampil dengan kepercayaan diri yang penuh untuk bersama-sama berupaya membebaskan bangsa ini dari anomali moral yang telah mengotori pilar-pilar kultur kita selama ini.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar