Sabtu, 20 Agustus 2011

Salafisme Sejati Muhammad Abduh (Versi Lengkap*)

Oleh:Akhmad SahalWakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
http://www.facebook.com/notes/akhmad-sahal/salafisme-sejati-muhammad-abduh-versi-lengkap/221391837909231
 Salafisme pada awalnya merupakan gerakan mempaharui Islam, tapi dalam perkembangannya kini justru berbalik menjadi gerakan yang melawaskannya. Pada akhir abad 19 seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, menegaskan perlunya reformasi Islam dengan cara meneladani generasi muslim awal yang saleh (al-salaf al-shalilh). Karena ia percaya bahwa Islam salafi pada hakekaktnya adalah agama yang rasional. Tapi dalam beberapa dekade terakhir, salafisme tiba-tiba menjadi identik dengan Wahabisme, aliran puritanisme Islam yang lahir di Najd (Saudi) yang justru membredel peran akal dalam agama.

Sementara salafisme pertama menyerukan kembali ke periode perdana Islam yang murni dengan tujuan mem-“bumi”-kannya dalam konteks masa kini agar kaum muslim tidak gagap berhadapan dengan modernitas, salafisme kedua menyatakan kembali ke Islam masa salaf dengan cara me-“mumi”-kannya, seakan-akan masa depan umat adalah masa lalunya.

Agenda salafisme Abduh sejatinya bisa ditelusuri jejak awalnya pada pemikiran gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, khususnya dalam polemiknya dengan Ernest Renan tentang Islam. Dalam satu ceramahnya di Sorbonne Paris pada 1883, filosof Perancis tersebut mencap Islam sebagai agama yang memusuhi sains dan pikiran modern, dan karena itu menjadi penghalang bagi kemajuan para pemeluknya.

Membantah Renan, Afghani menegaskan bahwa gejala yang disebut Renan sebagai antipati Islam terhadap sains tidak lain hanyalah praktek keislaman yang telah kehilangan otentisitasnya. Inilah yang membawa umat ke dalam keterbelakangan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka mudah dimangsa imperialisme Barat. Afghani kemudian menlantunkan sikap anti imperialisme dengan bersandar pada Islam otentik, yakni Islam salafi yang memberi peran sentral pada akal dan menempatkan umat sebagai agensi yang aktif dalam mengubah nasibnya sendiri.

Seruan Afghani rupanya bergema kuat pada diri Muhammad Abduh, yang lalu memperjuangkan agenda pembaharuan Islam secara lebih sistematis. Baginya, pangkal penyebab keterbelakangan umat Islam selama berabad-abad adalah begitu berakarnya situasi jumud (beku) dalam benak kolektif mereka akibat merajalelanya taqlid, percaya begitu saja kepada otoritas agama dalam bentuk apapun tanpa sikap kritis.
Patut dicatat, taklid di sini tidak terbatas pada artinya yang sempit, yakni keterikatan secara dogmatis pada salah satu empat mazhab. Taklid yang dikecam Abduh lebih luas dari itu, yakni sikap membebek saja kepada tradisi, aturan dan pendapat ulama masa silam atau sekarang tanpa sikap kritis. Begitu kerasnya kecamannya terhadap taklid sampai ia menghubungkannya dengan tabiat orang-orang kafir yang ketika diseru untuk mengikuti kitab Allah lantas menjawab, “kami ikuti apa-apa yang kami dapat pada orang-orang tua kami.”

Hantaman Abduh kepada taklid ini erat kaitannya dengan keyakinannya bahwa Islam dalam bentuknya yang otentik, yakni tatkala doktrin agama ini belum dipergemuk dengan pelbagai ornamen dan pernik-pernik yang menempel padanya karena pengaruh perbedaan sekte teologi dan mazhab fiqh, niscaya sejalan dengan akal. Dalam Risalah al-Tauhid ia menulis bahwa baru dalam Islamlah: “akal dan agama bersaudara buat pertamakalinya dalam kitab suci.”

Inilah pengertian kembali ke al-salaf al-shalih menurut Abduh, yakni kembali ke generasi muslim awal sebelum perpecahan umat ke dalam sekte dan aliran yang beragam dan saling bertentangan. Dan Islam salafi baginya adalah Islam yag rasional.

Karena itulah Abduh percaya bahwa antara wahyu dan akal pada hakekatnya tidak mungkin ada pertentangan. Lantas bagaimana kalau keduanya selintas saling bertentangan? “Akal,” kata Abduh dalam Risalah, “mesti meyakini bahwa yang dimaksudkan bukanlah arti yang harfiah.” Di tempat lain ia berujar: “dalam kasus di mana terjadi konflik antara akal dan naql (teks Qur’an dan sunnah), maka yang dimenangkan adalah konklusi akal. Dan dalam menyikapi dalil naqli yang seperti ini terdapat dua pilihan. Pertama: membiarkannya seperti apa adanya sambil mengakui ketidakmampuan kita untuk memahaminya dan memasrahkan perkaranya pada Allah. Pilihan kedua: menafsirkan teks tersebut, dengan berpedoman pada kaidah bahasa, sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan kesimpulan akal” (Al-Islam wa Al-Nashraniyyah).

Dalam banyak kasus, Abduh tampaknya lebih condong pada pilihan kedua ini tercermin dalam fatwa-fatwanya ketika ia menjadi mufti agung di Mesir, seperti fatwa anti poligami. Menurutnya, poligami sudah membudaya sebelum Islam. Dan aturan Islam tentang poligami pada hakekatnya lebih bersifat membatasi ketimbang mengumbarnya. Bukankah ayat yang membolehkan beristri sampai empat mengandung syarat keadilan yang mesti dipenuhi suami. Padahal ayat lain menegaskan bahwa para suami tidak bakal bisa berbuat adil, meski mereka berusaha keras untuk itu. Situasi semacam ini, ditambah dengan observasi Abduh sendiri tentang banyaknya kasus penyalahgunaan poligami oleh kaum lelaki pada masanya, lantas mendorongnya untuk berfatwa melarang poligami. Alasannya demi menjaga mashlahah (kepentingan publik).
Penekanan Abduh pada peran sentral akal dalam Islam ini tak ayal membuatnya menuai tuduhan sesat, dianggap sebagai pengikut sekte mu’tazilah, dst. Tapi sebenarnya salafisme Abduh tersebut terbit dari kemandiriannya dalam ber-ijtihad. Suatu kemandirian sikap yang dalam penilaian Profesor Harun Nasution dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) bahkan lebih rasionalis ketimbang mu’tazilah.

Penggambaran Muhammad Abduh yang menampilkan salafisme sebagai Islam rasional barangkali terasa mengejutkan, mengingat kesan umum tentang salafisme sekarang ini justru ekstrim kebalikannya. Salafisme kini sering dinisbatkan dengan Wahabisme, model Islam yang dipraktekkan di Saudi Arabia. Faham yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada akhir abad 18 ini mewajibkan kaum muslim untuk kembali kepada Qur’an dan hadits secara harfiah dan tidak memberi tempat pada akal.

Sebenarnya baru sejak dekade 70-an saja kaum Wahabi menyebut diri “salafi.”Pada awalnya, seperti dipaparkan Hamid Algar dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), kalangan Wahabi menamakan diri sebagai muwahhidun. Sebutan ini mengacu pada konsepsi mereka yang “radikal” tentang tauhid. Tauhid yang benar bagi mereka bukan hanya mengakui Allah sebagai Tuhan yang esa, melainkan juga kesediaan untuk menghambakan diri hanya kepadaNya.

Ketika Saudi Arabia, berkat berkah minyak, tiba-tiba menjadi negara petrodolar, terbukalah kesempatan bagi kaum Wahabi untuk mengekspor fahamnya ke seantero jagat muslim. Tapi para pengikut aliran ahlussunnah wal jama’ah di luar Saudi banyak yang menampiknya. Ini mendorong kaum Wahabi untuk mempermak citra mereka, di antaranya dengan melabeli diri sebagai Islam salafi. Mereka mengklaim sebagai pengikut Ibn Taimiyah, yang nota bene penganut mazhab Hanbali. Dari sinilah pengidentikan antara salafisme dengan Wahabisme bermula.

Secara selintas, memang terdapat kemiripan antara salafisme Wahabi dan salafisme Abduh. Keduanya sama-sama menjadikan Islam yang diamalkan generasi salaf yang salih sebagai model teladan, sama-sama merujuk langsung ke Qur’an dan sunnah ketimbang bersandar pada otoritas mazhab dan pendapat ulama, serta menekankan kemurnian tauhid. Tapi kemiripan tersebut hanya berhenti di situ saja. Itupun hanya sebatas pada kulit, karena sesungguhnya jurang pembeda antara keduanya nyaris tak terjembatani.
Ambillah contoh soal perbedaan antara Abduh dan kaum Wahabi perihal mazhab. Abduh menentang keterikatan secara ketat pada satu mazhab karena hal itu ia anggap identik dengan sikap taklid. Baginya, kaum muslim mesti punya kebebasan memilih pendapat yang secara argumen paling kuat dari mazhab-mazhab yang ada, dan berani melakukan ijtihad sendiri jika diperlukan. Artinya, yang ia tolak dari mazhab adalah tendensinya untuk menumpulkan sikap kritis dan rasional.

Coba bandingkan dengan antipati kaum Wahabi terhadap mazhab. Di mata mereka, bermazhab sama dengan berpegang pada pendapat para ulama semata, yang nota bene melibatkan peran akal, dan bukan pada teks Qur’an dan hadits secara langsung.

Jadi, Abduh menolak mazhab karena dianggap mengurangi peran akal, sedangkan kaum Wahabi menolaknya semata-mata karena curiga dengan peran akal yang berlebihan di dalamnya.

Kontras yang lain juga bisa kita temukan dalam pandangan kedua kubu tentang tauhid. Bagi kaum Wahabi, tauhid berarti menghamba hanya terhadap Allah secara mutlak. Setiap perilaku yang mencerminkan ketundukan terhadap siapapun atau apapun selain Allah dianggap sama dengan syirk. Masalahnya, mereka mendefinisikan syirk secara sempit dan kaku, sampai-sampai hormat kepada bendera pun dikategorikan syirik. Tidak heran kalau kaum Wahabi lantas begitu mudah menyebut sesat pandangan lain di luar fahamnya. Anehnya, yang jadi ukuran adalah diri mereka sendiri, seperti diungkap oleh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung sang pendiri Wahabisme: Wa taj'alun mizan kufr al-nas mukhalafatakum wa mizan al-Islam muwafaqatakum" (kalian jadikan penentangan orang thd pendapat kalian sebagai ukuran kekafiran mereka dan persetujuannya thd pendapat kalian sebagai ukuran ke-Islam-an mereka).

Bandingkan dengan konsepsi Abduh tentang tauhid. Ia menulis: “Dalam hal iman kepada Allah, Islam bergantung hanya pada pembuktian rasional, bukan pada kejadian supernaturanl atau suara dari langit…Kaum Muslim umumnya sepakat bahwa urutan iman kepada Allah mendahului iman kepada Rasul. Karena itu, tidak tepat kalau dikatakan dasar iman kepada Allah mengacu pada risalah utusanNya. Justru sebaliknya, seseorang mesti beriman dulu pada Allah sebelum beriman kepada kenabian utusanNya.” (Al Islam wa al-Nashraniyyah). Kutipan barusan dengan jelas menunjukkan bahwa bagi Abduh, fundasi iman pada keesaan Allah justru bukan pertama-tama bersumber dari wahyu, melainkan dari hasil penalaran.

Pandangan semacam ini bertolak dari keyakinan Abduh bahwa kesempurnaan ajaran Islam bertaut erat dengan karakternya yang rasional. Dengan menrik ia menganalogikan perkembangan agama dengan perkembangan kemanusiaan dari fase kanak-kanak menjadi dewasa. Pada fase kanak-kanak, katanya dalam Risalah al-Tauhd, Tuhan menurunkan agama dalam bentuk perintah dan larangan, seperti halnya orang tua memperlakukan anaknya. Maka muncullah agama Yahudi. Ketika kemanusiaan menginjak remaja, agama baru yang turun memakai pendekatan kasih sayang untuk menyentuh hatinya. Maka turunlah agama Kristen. Dan tatkala kemanusiaan tumbuh dewasa, agama baru yang cocok dengan fase itu adalah agama yang berbicara kepadanya bukan hanya dengan perintah dan larangan, juga bukan hanya dengan kasih, melainkan terutama dengan akal. Dan itulah Islam.

Dengan kata lain, sementara salafisme Wahabi melancarkan takfir (pengkafiran), salafisme Abduh menggalakkan tafkir (pengaktifan pikiran).

Adanya pertentangan dua salafisme tersebut lantas membuat kita bertanya: apa hakekat islam salafi? Kaum Wahabi mengartikannya sebagai sebagai laku ngeblat generasi salaf, dengan menjadikan mereka sebagai model untuk dicontoh secara harfiah. Apapun yang berbeda dari pakem ngeblat mereka langsung dicap bid’ah. Di sini proses sejarah umat dilihat sebagai proses penyimpangan, lantaran menjauhkan Islam dari kemurniannya. Karena itu, Islam mesti dimurnikan kembali setiap saat. Artinya, bagi kaum Wahabi, masa depan umat Islam adalah masa lalu mereka.

Cara ngeblat seperti itu di mata Abduh tentu akan dikategorkan sebagai taklid, sesuatu yang justru bertentangan dengan tujuan utama kembali ke generasi salaf. Sebab menurutnya, meneladani salaf bertujuan untuk menemukan élan progresif Islam yang untuk waktu yang lama terkubur oleh kejumudan para pemeluknya.

Islam salafi yang rasional dari Abduh inilah yang menurut saya perlu lebih keras disuarakan sekarang. Itu kalau kaum muslim memang betul-betul hendak merealisasikan semboyan bahwa Islam adalah agama yang cocok untuk segala waktu dan tempat (sholihun li kulli zamanin wa makanin).

*Tulisan ini dimuat secara bersambung di Koran Tempo, 18-20/8/2011.

ISLAM DAN KEMERDEKAAN (KEBEBASAN)

Oleh: Husein Muhammad
http://www.facebook.com/notes/husein-muhammad/islam-dan-kemerdekaan/10150265751364811


“Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...” Penggalan kalimat proklamasi ini diucapkan Soekarno, di dampingi Hatta, di hadapan masyarakat dunia, tanggal 17 Agustus 1945. Meski singkat, tetapi kalimat ini memiliki makna yang sangat luar biasa bagi rakyat Indonesia. Begitu selesai dibacakan, pekik kemerdekaan : Merdeka ! Merdeka!, terdengar membahana di mana-mana dengan ekspresi kegembiraan yang meluap-luap, berhamburan di pelosok-pelosok seluruh negeri Indonesia. Tetabuhan berdentam-dentam. Dunia kemanusiaan menyambut dengan sukacita. Hari bersejarah itu kemudian dirayakan dengan situasi kegembiraan yang sama setiap tahun oleh seluruh rakyat Indonesia sebaggai hari Lahirnya Negara Indonesia. Bendera merah putih berkibar-kibar dengan gagah di setiap rumah dan setiap tempat diiringi nyanyian kegembiraan dan kegagahan yang mengharukan.   

Makna Kemerdekaan.

Kemerdekaan dalam bahasa Arab disebut „al-Istiqlal“. Hari Kemerdekaan disebut Id al-Istiqlal. Ia ditafsirkan sebagai  :
التحرر والخلاص من القيد والسيطرة الاجنبية

”al-Taharrur wa al-Khalash min ayy Qaydin wa Saytharah Ajnabiyyah” (bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain). Atau

القدرة على تنفيذ مع عدم القسر والعنف من الخارج

“al-Qudrah ‘ala al-Tanfidz ma’a In‘idam Kulli Qasr wa ‘Unf min al-Kharij” (Kemampuan melaktualisasikan diri tanpa adanya segala bentuk pemaksaan dan kekerasan dari luar dirinya).
 Dengan kata lain kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk penindasan bangsa lain.  Kata lain untuk makna ini adalah “Al-Hurriyyah“. Kata ini biasa diterjemahkan sebagai kebebasan.   Dari kata ini terbentuk kata al-Tahrir  yang berarti pembebasan. Tahrir al-Mar‘ah berarti pembebasan perempuan. Orang yang bebas/merdeka disebut al-hurr lawan dari al-“abd“ (budak). Penggunaan kata kebebasan dalam konteks kaum muslimin hari ini tampaknya kurang menyenangkan.  Sebagian mereka memandangnya dengan sinis. Ini boleh jadi karena kebebasan menjadi milik khas Barat. Padahal al-Qur‘an selalu menyebutkan kata ini, dan bukan kata al-Istiqlal. Dalam teks-teks klasik al-Hurriyyah, kebebasan, amatlah populer dan terpuji.

Akan tetapi makna-makna sebagaimana disebutkan di atas masih amatlah sederhana dan formalistic, masih semi merdeka (Syibh al-Hurriyyah/Istiqlal). Kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17/08/45 barulah gerbang dan pintu yang terbuka.

Kemerdekaan atau Kebebasan dalam maknanya yang sejati dan luas adalah situasi batin yang terlepas dari segala  rasa yang menghimpit, yang menekan dan yang menderitakan jiwa, pikiran dan gerak manusia baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun  dari luar. Kemerdekaan/Kebebasan  adalah suasana hati yang damai, yang tenang terbukanya kehendak-kehendak dan harapan-harapan yang manis manusia. Kemerdekaan adalah suasana di mana semua potensi kemanusiaan : energi tubuh, akal-intelek, budi, jiwa dan hati,  memperoleh tempat dan jalan menuju harapan-harapannya.

Kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan yang melekat dalam diri setiap manusia, apapun latarbelakang sosial, budaya, politik, jenis kelamin, agama, keyakinan, warna kulit, kebangsaannya dan seterusnya. Kemerdekaan adalah essensi kemanusiaan itu sendiri. Karena itu ia tidak dapat dan tidak boleh dirampas atau dicabut oleh siapapun. Ia adalah anugerah Tuhan kepada manusia, makhluk-Nya yang paling dihormati. Oleh sebab itu, segala bentuk kebudayaan, peradaban dan setiap sistem kehidupan yang menghalangi, membatasi, yang memenjarakan, dan memperbudak manusia harus dihapuskan dan dilenyapkan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan hakikat manusia.

Islam dan Kemerdekaan

Manusia menurut Islam adalah makhluk yang merdeka/bebas sejak ia ada. Ini di satu sisi. Pada sisi lain ia adalah hamba-Nya, karena dia diciptakan dan Dialah Penciptanya. Manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika berada di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama manusia disebut Abd Allah. Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Nabi Muhammad dan para Nabi yang lain adalah para utusan Tuhan. Mereka ditugaskan membawa misi Tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain. Al-Qur’an menegaskan: “(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka”. (Q.S. Ibrahim, [14:1].

Mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan di sini bermakna, kekafiran, kezaliman, kesesatan dan kebodohan. Cahaya adalah keimanan kepada Tuhan, keadilan, jalan lurus dan Ilmu pengetahuan. Ini semjua merupakan ajaran paling inti dari Islam dan setiap agama yang dibawa para nabi, utusan Tuhan dan para pembawa misi kemanusian yang lain. Karena ia merupakan refleksi dan aksi dari pernyataan Ke-Maha-Esa-an Tuhan.

Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan oleh karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. Keyakinan Islam ini dipraktikkan Nabi melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan melalui segala cara yang mungkin. Diinspirasi oleh tindakan Nabi ini, Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain. Ketika Abdullah, anak Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan: “sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka“. Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu. 

Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah. Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang yang tak beruntung tidak memperoleh haknya. Sebaliknya orang dengan status sosial beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terkhir ini pernah disampaikan Nabi: “Andaikata Fatimah, anakku, mencuri, aku pasti akan menghukumnya”.    

Kemerdekaan adalah Bertindak Etis

Kemerdekaan manusia meliputi hak untuk menjadi ada dan dihargai, beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikannya, dan beraktualisasi  diri, berproduksi dan bereproduksi, hak untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan, kemerdekaan untuk tidak dirampas, diselewengkan, disalahgunakan dan dihambur-hamburkan, baik hak miliknya sendiri maupun hak miliki bersama. Manusia juga tidak boleh diperbudak oleh aturan dan kekuasaan apapun. Sebaliknya aturan dan kekuasaan diperlukan sebagai cara manusia memperoleh rasa aman, damai, keadilan dan kesejahteraan. Semua hak yang disebutkan ini adalah hak-hak fundamental manusia dan bersifat universal.

Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa berbagai kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin. Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan. Atas dasar inilah maka tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Karena yang lain juga punya kehendak yang sama. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan dan perendahan martabat adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri. Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab bagai dua sisi mata uang. Maka setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan atas martabatnya. Dari sini tampak logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain. Dengan begitu, kemerdekaan adalah berpikir dan bertindak etis. Yakni berpikir dan bertindak untuk memperoleh kebaikan bagi diri dan orang lain dalam sistem atau institusi yang adil. Karena inilah tujuan kehidupan bersama manusia.


Cirebon, 17-8-2011

17 Agustus (Ramadhan)

Republika, Jumat, 19 Agustus 2011 pukul 12:46:00
Oleh Zaim Uchrowi

Angka 66 secara umum tak bermakna apa-apa, kecuali bagi yang suka mengutak-atiknya: ‘66’ sebagai kebalikan angka ‘99’, angka Asmaul Khusna. Selain itu, ini juga menjadi angka khusus bagi aktivis Angkatan ‘66. Tapi, 66 tahun Indonesia merdeka melahirkan momen menarik seperti tahun 1945. Hari kemerdekaan bertemu dengan Ramadhan. Tanggal peringatan proklamasi bahkan bersamaan dengan Nuzulul Quran.

“Tak ada kebetulan di dunia ini”. Para ulama, para pelatih pengembangan diri, meyakini itu. Segala sesuatu di alam semesta ini tak lepas dari kehendak-Nya. Tinggal bagaimana memahami dan memaknai kehendak Tuhan yang tampak seperti kebetulan itu, termasuk kehendak-Nya mempertemukan dua momen penting ini sekarang.

Merdeka. Sebuah kata yang banyak terlupakan, kecuali pada hari-hari seperti pada Agustus sekarang. Padahal, sebenarnya, setiap manusia adalah merdeka. Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Jiwa dan mentalnya bersih belum ternodai apa pun. Dengan jiwa dan mental bersih, mereka akan tumbuh dewasa menjadi pribadi-pribadi utuh. Pribadi-pribadi yang sanggup menaklukkan dunia. Sanggup mewujudkan kebahagiaan bagi diri sendiri juga mewujudkan kesejahteraan bersama.

Namun, sekarang keadaan yang menumbuhkan anak-anak bangsa tidak lagi steril. Lebih tepatnya tidak sehat. Itu yang membuat anak-anak bangsa tidak tumbuh normal. Keadaan membuat anakanak bangsa tidak merdeka. Lingkungan membuat mereka terkendala. Bahkan, dalam bahasa tegas, dapat dikatakan bahwa anak-anak bangsa ini ‘terjajah’. Bukan oleh Belanda, tentu, bukan pula oleh Jepang, namun terjajah keadaan tidak baik produk bangsa sendiri.

Mari tengok setidaknya 30 juta warga miskin negeri subur makmur ini. Jumlah yang dapat kian membengkak karena beranak pinak. Mereka itulah yang paling ‘terjajah’ oleh keadaan. Kalangan yang menengah pun tak bebas dari terjajah. Anak-anak bangsa yang ‘terjajah keadaan’ itu sebagian besarnya akan pasrah menjadi orang kalah dalam kehidupan. Sebagian lain memilih berjudi dalam permainan yang diistilahkan oleh Ronggowarsito pada abad ke-19 sebagai permainan ‘Zaman Edan’.

Merdeka bukan pasrah pada keadaan. Bukan pula larut dalam permainan ‘Zaman Edan’ seperti yang dilakukan Nazaruddin. Merdeka berarti berkesadaran dan berkemampuan mengubah keadaan diri menjadi lebih baik, baik bagi masing-masing pribadi maupun secara agregat bagi masyarakat dan bangsa. Kesadaran dan kemampuan mengubah diri itu perlu kejernihan dan kebersihan hati. Maka, sungguh tepat bila peringatan kemerdekaan sekarang dipertemukan dengan Ramadhan.

Tidak sekadar mempertemukan Agustus dengan Ramadhan, Allah pun mempertemukan tanggal 17 dari dua bulan berbeda itu. Bagi umat Islam Indonesia, tanggal ini tak semata Hari Kemerdekaan 66 tahun silam. Tanggal ini juga menjadi hari turunnya ajaran kebenaran berupa ayat Quran pertama, sekitar 1.400 tahun silam, yakni tahun 611 Masehi. Ada apa di balik fenomena ini?

Tanggal 17 Agustus-Ramadhan ini boleh jadi memang momentum yang diturunkan Allah SWT untuk bangsa ini. Jadilah manusia merdeka! Bersihkan diri dengan cahaya Qurani! Bangunlah menjadi pribadi, masyarakat, dan bangsa yang benar-benar bermartabat, khususnya bagi para politikus, pengendali birokrasi, dan pemegang lain amanah rakyat. Allah bahkan menghadirkan Nazaruddin yang jelas-jelas menyandang nama ‘Mohammad’, untuk menunjukkan betapa bobrok kita sebagai bangsa. Dengan kasus Nazaruddin, keadaan memang sedikit lebih baik. ‘Belanja’ atau ‘bancakan’ proyek lewat kolusi legislatifeksekutif terhenti untuk sementara. Semoga bukan hanya di Ramadhan ini, melainkan seterusnya. Semoga orangorang baik yang terlena oleh nikmatnya ‘bancakan proyek’ juga kembali ke fitrahnya bersamaan dengan menjelangnya Idul Fitri ke depan. Itu yang akan membantu agar cita-cita merdeka 66 tahun lalu dapat terwujud.

Nuzulul Quran dan Keaksaraan Perempuan

Republika, Sabtu, 20 Agustus 2011
Dyvita Febriyanti
Pegiat Literasi, Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember

Tanggal 17 Ramadhan sekitar 14 abad yang lalu, atau tepatnya malam Senin tahun ke-41 dari usia Rasulullah dan 13 tahun sebelum Hijriah, atau bertepatan dengan Juli 610 M, ayat pertama dalam Alquran diturunkan ketika Rasulullah sedang di Gua Hira. Ayat itu berbunyi, "Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS al-Alaq [96]: 1-5).

Momen itulah penanda awal dicanangkannya revolusi sejati bagi seluruh umat manusia dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalahnya. Sebab, kata kunci dari rangkaian ayat-ayat tersebut adalah (mem) baca: imbauan (tepatnya kewajiban) untuk senantiasa belajar dengan cara membaca segala macam peristiwa. Sebuah tuntunan yang kemudian terbukti puluhan abad setelahnya bahwa kemajuan peradaban manusia dapat dicapai dengan progresif jika berhasil menumbuhkan budaya baca tulis.

Tapi dalam mempelajari historiografi Alquran tidak banyak yang tahu bahwa yang pertama kali meyakini kebenaran Alquran justru seorang perempuan, yakni Siti Khadijah al-Qubra, istri Nabi sendiri. Setelah itu baru menyusul para sahabat Nabi.

Sebagai mukjizat yang ditujukan untuk menyinari alam kejahiliahan, Alquran sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Seolah setali dengan pihak pertama yang meyakini Alquran sebagai wahyu Nabi, perempuan adalah kelompok paling diuntungkan dengan turunnya Alquran. Mengapa? Di bawah tuntunan Alquran, Muhammad Rasulullah SAW melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan status perempuan dalam masyarakat Arab jahiliah.

Risalah revolusioner

Seperti diungkapkan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Siti Musdah Mulia, saat itu Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Kemudian Rasul menetapkan hak waris bagi perempuan di saat masyarakat memosisikan mereka hanya sebagai objek atau bagian dari komoditas yang diwariskan.

Rasul juga menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandangnya sebagai hak monopoli orang tua atau wali. Pun Rasul mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam shalat pada saat masyarakat hanya mengenal laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya tiga kali lebih tinggi daripada ayah pada saat masyarakat memandang ibu tak ubahnya mesin produksi. Selanjutnya, Rasul menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami, saat masyarakat memandangnya sebagai pelayan dan objek seksual belaka.

Saat itu, Alquran turun di kawasan yang secara sosiologis, masyarakatnya memiliki konstruksi dan persepsi kebudayaan yang diskriminatif mengenai perempuan. Tatanan yang berlaku di masa itu adalah sistem patriarki: suatu budaya yang dibangun di atas struktur dominasi laki-laki sebagai pusat kuasa. Perempuan, dalam kebudayaan mereka, diposisikan dan diperlakukan sedemikian rendah dan hina. (Asghar Ali Engineer: 1994).

Artinya, Alquran diturunkan sebagai jawaban, bantahan, dan alternatif nilai untuk membangun kembali tata kebudayaan yang adil. Seperti dikatakan Fazlur Rahman, Alquran merupakan respons Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya untuk menanggapi situasi sosial-moral pada masa Nabi. Alquran dan asal usul masyarakat Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosial-historis.

Dengan kata lain, Alquran telah menuntun Rasul mengubah posisi dan status perempuan secara revolusioner, mengubah posisi dan status perempuan dari objek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Artinya, Nabi Muhammad adalah sosok revolusioner dalam segala bidang.

Rasul mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal, dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Keduanya sama-sama makh luk, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fil ardh (pengelola ke hidupan di bumi), dan juga sa ma-sama berpotensi menjadi fasad filardh (perusak di muka bumi).

Perempuan modern

Pertanyaannya, bagaimana posisi dan peran perempuan kini? Apakah masih dalam nuansa yang sama seperti dilukiskan dalam riwayat tersebut atau sudah mengalami perubahan?

Setelah nyaris berjalan 14 abad lamanya, wujud kejahiliahan itu bermetamorfosis pada penindasan perempuan dalam kerangka yang lebih sistemis dan menyentuh level kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Sebagai contoh, dalam peringatan Hari Aksara Internasional, September 2010, terungkap fakta bahwa dari data masyarakat yang terklasifikasi buta aksara usia 15 tahun ke atas sejumlah 10,16 juta, 65% di antaranya adalah perempuan.

Tidak heran jika Simon de Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan pemberdayaan perempuan memerlukan kemandirian di bidang ekonomi, yang artinya wanita perlu terjun ke sektor publik.

Momentum memperingati Nuzulul Quran tahun ini, kita semua layak melakukan introspeksi diri, apakah nilai-nilai Qurani yang begitu ideal dan luhur telah dihayati dan diamalkan dalam kehi dupan sehari-hari?

Secara historis justru kaum perempuanlah (Siti Khadijah) yang pertama meyakini kebenaran Alquran. Akhirnya, semoga paradoks ini mampu menjadi pelecut bagi kaum perempuan untuk bangkit dan memperbaiki diri.