Sabtu, 20 Agustus 2011

Salafisme Sejati Muhammad Abduh (Versi Lengkap*)

Oleh:Akhmad SahalWakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
http://www.facebook.com/notes/akhmad-sahal/salafisme-sejati-muhammad-abduh-versi-lengkap/221391837909231
 Salafisme pada awalnya merupakan gerakan mempaharui Islam, tapi dalam perkembangannya kini justru berbalik menjadi gerakan yang melawaskannya. Pada akhir abad 19 seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, menegaskan perlunya reformasi Islam dengan cara meneladani generasi muslim awal yang saleh (al-salaf al-shalilh). Karena ia percaya bahwa Islam salafi pada hakekaktnya adalah agama yang rasional. Tapi dalam beberapa dekade terakhir, salafisme tiba-tiba menjadi identik dengan Wahabisme, aliran puritanisme Islam yang lahir di Najd (Saudi) yang justru membredel peran akal dalam agama.

Sementara salafisme pertama menyerukan kembali ke periode perdana Islam yang murni dengan tujuan mem-“bumi”-kannya dalam konteks masa kini agar kaum muslim tidak gagap berhadapan dengan modernitas, salafisme kedua menyatakan kembali ke Islam masa salaf dengan cara me-“mumi”-kannya, seakan-akan masa depan umat adalah masa lalunya.

Agenda salafisme Abduh sejatinya bisa ditelusuri jejak awalnya pada pemikiran gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, khususnya dalam polemiknya dengan Ernest Renan tentang Islam. Dalam satu ceramahnya di Sorbonne Paris pada 1883, filosof Perancis tersebut mencap Islam sebagai agama yang memusuhi sains dan pikiran modern, dan karena itu menjadi penghalang bagi kemajuan para pemeluknya.

Membantah Renan, Afghani menegaskan bahwa gejala yang disebut Renan sebagai antipati Islam terhadap sains tidak lain hanyalah praktek keislaman yang telah kehilangan otentisitasnya. Inilah yang membawa umat ke dalam keterbelakangan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka mudah dimangsa imperialisme Barat. Afghani kemudian menlantunkan sikap anti imperialisme dengan bersandar pada Islam otentik, yakni Islam salafi yang memberi peran sentral pada akal dan menempatkan umat sebagai agensi yang aktif dalam mengubah nasibnya sendiri.

Seruan Afghani rupanya bergema kuat pada diri Muhammad Abduh, yang lalu memperjuangkan agenda pembaharuan Islam secara lebih sistematis. Baginya, pangkal penyebab keterbelakangan umat Islam selama berabad-abad adalah begitu berakarnya situasi jumud (beku) dalam benak kolektif mereka akibat merajalelanya taqlid, percaya begitu saja kepada otoritas agama dalam bentuk apapun tanpa sikap kritis.
Patut dicatat, taklid di sini tidak terbatas pada artinya yang sempit, yakni keterikatan secara dogmatis pada salah satu empat mazhab. Taklid yang dikecam Abduh lebih luas dari itu, yakni sikap membebek saja kepada tradisi, aturan dan pendapat ulama masa silam atau sekarang tanpa sikap kritis. Begitu kerasnya kecamannya terhadap taklid sampai ia menghubungkannya dengan tabiat orang-orang kafir yang ketika diseru untuk mengikuti kitab Allah lantas menjawab, “kami ikuti apa-apa yang kami dapat pada orang-orang tua kami.”

Hantaman Abduh kepada taklid ini erat kaitannya dengan keyakinannya bahwa Islam dalam bentuknya yang otentik, yakni tatkala doktrin agama ini belum dipergemuk dengan pelbagai ornamen dan pernik-pernik yang menempel padanya karena pengaruh perbedaan sekte teologi dan mazhab fiqh, niscaya sejalan dengan akal. Dalam Risalah al-Tauhid ia menulis bahwa baru dalam Islamlah: “akal dan agama bersaudara buat pertamakalinya dalam kitab suci.”

Inilah pengertian kembali ke al-salaf al-shalih menurut Abduh, yakni kembali ke generasi muslim awal sebelum perpecahan umat ke dalam sekte dan aliran yang beragam dan saling bertentangan. Dan Islam salafi baginya adalah Islam yag rasional.

Karena itulah Abduh percaya bahwa antara wahyu dan akal pada hakekatnya tidak mungkin ada pertentangan. Lantas bagaimana kalau keduanya selintas saling bertentangan? “Akal,” kata Abduh dalam Risalah, “mesti meyakini bahwa yang dimaksudkan bukanlah arti yang harfiah.” Di tempat lain ia berujar: “dalam kasus di mana terjadi konflik antara akal dan naql (teks Qur’an dan sunnah), maka yang dimenangkan adalah konklusi akal. Dan dalam menyikapi dalil naqli yang seperti ini terdapat dua pilihan. Pertama: membiarkannya seperti apa adanya sambil mengakui ketidakmampuan kita untuk memahaminya dan memasrahkan perkaranya pada Allah. Pilihan kedua: menafsirkan teks tersebut, dengan berpedoman pada kaidah bahasa, sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan kesimpulan akal” (Al-Islam wa Al-Nashraniyyah).

Dalam banyak kasus, Abduh tampaknya lebih condong pada pilihan kedua ini tercermin dalam fatwa-fatwanya ketika ia menjadi mufti agung di Mesir, seperti fatwa anti poligami. Menurutnya, poligami sudah membudaya sebelum Islam. Dan aturan Islam tentang poligami pada hakekatnya lebih bersifat membatasi ketimbang mengumbarnya. Bukankah ayat yang membolehkan beristri sampai empat mengandung syarat keadilan yang mesti dipenuhi suami. Padahal ayat lain menegaskan bahwa para suami tidak bakal bisa berbuat adil, meski mereka berusaha keras untuk itu. Situasi semacam ini, ditambah dengan observasi Abduh sendiri tentang banyaknya kasus penyalahgunaan poligami oleh kaum lelaki pada masanya, lantas mendorongnya untuk berfatwa melarang poligami. Alasannya demi menjaga mashlahah (kepentingan publik).
Penekanan Abduh pada peran sentral akal dalam Islam ini tak ayal membuatnya menuai tuduhan sesat, dianggap sebagai pengikut sekte mu’tazilah, dst. Tapi sebenarnya salafisme Abduh tersebut terbit dari kemandiriannya dalam ber-ijtihad. Suatu kemandirian sikap yang dalam penilaian Profesor Harun Nasution dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) bahkan lebih rasionalis ketimbang mu’tazilah.

Penggambaran Muhammad Abduh yang menampilkan salafisme sebagai Islam rasional barangkali terasa mengejutkan, mengingat kesan umum tentang salafisme sekarang ini justru ekstrim kebalikannya. Salafisme kini sering dinisbatkan dengan Wahabisme, model Islam yang dipraktekkan di Saudi Arabia. Faham yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada akhir abad 18 ini mewajibkan kaum muslim untuk kembali kepada Qur’an dan hadits secara harfiah dan tidak memberi tempat pada akal.

Sebenarnya baru sejak dekade 70-an saja kaum Wahabi menyebut diri “salafi.”Pada awalnya, seperti dipaparkan Hamid Algar dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), kalangan Wahabi menamakan diri sebagai muwahhidun. Sebutan ini mengacu pada konsepsi mereka yang “radikal” tentang tauhid. Tauhid yang benar bagi mereka bukan hanya mengakui Allah sebagai Tuhan yang esa, melainkan juga kesediaan untuk menghambakan diri hanya kepadaNya.

Ketika Saudi Arabia, berkat berkah minyak, tiba-tiba menjadi negara petrodolar, terbukalah kesempatan bagi kaum Wahabi untuk mengekspor fahamnya ke seantero jagat muslim. Tapi para pengikut aliran ahlussunnah wal jama’ah di luar Saudi banyak yang menampiknya. Ini mendorong kaum Wahabi untuk mempermak citra mereka, di antaranya dengan melabeli diri sebagai Islam salafi. Mereka mengklaim sebagai pengikut Ibn Taimiyah, yang nota bene penganut mazhab Hanbali. Dari sinilah pengidentikan antara salafisme dengan Wahabisme bermula.

Secara selintas, memang terdapat kemiripan antara salafisme Wahabi dan salafisme Abduh. Keduanya sama-sama menjadikan Islam yang diamalkan generasi salaf yang salih sebagai model teladan, sama-sama merujuk langsung ke Qur’an dan sunnah ketimbang bersandar pada otoritas mazhab dan pendapat ulama, serta menekankan kemurnian tauhid. Tapi kemiripan tersebut hanya berhenti di situ saja. Itupun hanya sebatas pada kulit, karena sesungguhnya jurang pembeda antara keduanya nyaris tak terjembatani.
Ambillah contoh soal perbedaan antara Abduh dan kaum Wahabi perihal mazhab. Abduh menentang keterikatan secara ketat pada satu mazhab karena hal itu ia anggap identik dengan sikap taklid. Baginya, kaum muslim mesti punya kebebasan memilih pendapat yang secara argumen paling kuat dari mazhab-mazhab yang ada, dan berani melakukan ijtihad sendiri jika diperlukan. Artinya, yang ia tolak dari mazhab adalah tendensinya untuk menumpulkan sikap kritis dan rasional.

Coba bandingkan dengan antipati kaum Wahabi terhadap mazhab. Di mata mereka, bermazhab sama dengan berpegang pada pendapat para ulama semata, yang nota bene melibatkan peran akal, dan bukan pada teks Qur’an dan hadits secara langsung.

Jadi, Abduh menolak mazhab karena dianggap mengurangi peran akal, sedangkan kaum Wahabi menolaknya semata-mata karena curiga dengan peran akal yang berlebihan di dalamnya.

Kontras yang lain juga bisa kita temukan dalam pandangan kedua kubu tentang tauhid. Bagi kaum Wahabi, tauhid berarti menghamba hanya terhadap Allah secara mutlak. Setiap perilaku yang mencerminkan ketundukan terhadap siapapun atau apapun selain Allah dianggap sama dengan syirk. Masalahnya, mereka mendefinisikan syirk secara sempit dan kaku, sampai-sampai hormat kepada bendera pun dikategorikan syirik. Tidak heran kalau kaum Wahabi lantas begitu mudah menyebut sesat pandangan lain di luar fahamnya. Anehnya, yang jadi ukuran adalah diri mereka sendiri, seperti diungkap oleh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung sang pendiri Wahabisme: Wa taj'alun mizan kufr al-nas mukhalafatakum wa mizan al-Islam muwafaqatakum" (kalian jadikan penentangan orang thd pendapat kalian sebagai ukuran kekafiran mereka dan persetujuannya thd pendapat kalian sebagai ukuran ke-Islam-an mereka).

Bandingkan dengan konsepsi Abduh tentang tauhid. Ia menulis: “Dalam hal iman kepada Allah, Islam bergantung hanya pada pembuktian rasional, bukan pada kejadian supernaturanl atau suara dari langit…Kaum Muslim umumnya sepakat bahwa urutan iman kepada Allah mendahului iman kepada Rasul. Karena itu, tidak tepat kalau dikatakan dasar iman kepada Allah mengacu pada risalah utusanNya. Justru sebaliknya, seseorang mesti beriman dulu pada Allah sebelum beriman kepada kenabian utusanNya.” (Al Islam wa al-Nashraniyyah). Kutipan barusan dengan jelas menunjukkan bahwa bagi Abduh, fundasi iman pada keesaan Allah justru bukan pertama-tama bersumber dari wahyu, melainkan dari hasil penalaran.

Pandangan semacam ini bertolak dari keyakinan Abduh bahwa kesempurnaan ajaran Islam bertaut erat dengan karakternya yang rasional. Dengan menrik ia menganalogikan perkembangan agama dengan perkembangan kemanusiaan dari fase kanak-kanak menjadi dewasa. Pada fase kanak-kanak, katanya dalam Risalah al-Tauhd, Tuhan menurunkan agama dalam bentuk perintah dan larangan, seperti halnya orang tua memperlakukan anaknya. Maka muncullah agama Yahudi. Ketika kemanusiaan menginjak remaja, agama baru yang turun memakai pendekatan kasih sayang untuk menyentuh hatinya. Maka turunlah agama Kristen. Dan tatkala kemanusiaan tumbuh dewasa, agama baru yang cocok dengan fase itu adalah agama yang berbicara kepadanya bukan hanya dengan perintah dan larangan, juga bukan hanya dengan kasih, melainkan terutama dengan akal. Dan itulah Islam.

Dengan kata lain, sementara salafisme Wahabi melancarkan takfir (pengkafiran), salafisme Abduh menggalakkan tafkir (pengaktifan pikiran).

Adanya pertentangan dua salafisme tersebut lantas membuat kita bertanya: apa hakekat islam salafi? Kaum Wahabi mengartikannya sebagai sebagai laku ngeblat generasi salaf, dengan menjadikan mereka sebagai model untuk dicontoh secara harfiah. Apapun yang berbeda dari pakem ngeblat mereka langsung dicap bid’ah. Di sini proses sejarah umat dilihat sebagai proses penyimpangan, lantaran menjauhkan Islam dari kemurniannya. Karena itu, Islam mesti dimurnikan kembali setiap saat. Artinya, bagi kaum Wahabi, masa depan umat Islam adalah masa lalu mereka.

Cara ngeblat seperti itu di mata Abduh tentu akan dikategorkan sebagai taklid, sesuatu yang justru bertentangan dengan tujuan utama kembali ke generasi salaf. Sebab menurutnya, meneladani salaf bertujuan untuk menemukan élan progresif Islam yang untuk waktu yang lama terkubur oleh kejumudan para pemeluknya.

Islam salafi yang rasional dari Abduh inilah yang menurut saya perlu lebih keras disuarakan sekarang. Itu kalau kaum muslim memang betul-betul hendak merealisasikan semboyan bahwa Islam adalah agama yang cocok untuk segala waktu dan tempat (sholihun li kulli zamanin wa makanin).

*Tulisan ini dimuat secara bersambung di Koran Tempo, 18-20/8/2011.