Kamis, 02 Juni 2011

NKRI dan Pendidikan Pancasila

Republika, Senin, 30 Mei 2011

Musa Asy'arie
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
 
Fenomena sosial akhir-akhir ini memperlihatkan semakin kacaunya nilai-nilai yang dianut bangsa ini. Satu kelompok terjebak dalam pragmatisme yang meletakkan kekuasaan dan uang sebagai tujuannya, sehingga kehidupan politik kita dikuasai oleh money politics dan korup. Pada sisi lain, terperosok pada radikalisme sebagai kekuatan untuk melawan kecenderungan kehidupan di Indonesia yang semakin korup dan hedonis. Radikalisme bersentuhan dengan faham keagamaan tertentu untuk menyelamatkan Indonesia yang semakin jauh dari ajaran agama, bahkan melahirkan tindakan kekerasan dan pemaksaan kepada orang lain untuk mengikutinya faham keagamaan yang dianutnya.

Rasanya, sulit membayangkan adanya suatu negara tanpa ideologi, karena suatu negara sesungguhnya dibangun dan berdiri di atas dasar tatanan ideologi, dan Indonesia pun lahir menjadi negara karena adanya perjuangan ideologis yang melahirkan gerakan rakyat-untuk menuntut kemerdekaan melawan penjajahan sehingga berhasil mendirikan negeri yang merdeka, sah, dan berdaulat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Yang menjadi dasar konstitusi NKRI adalah Pancasila, yang di dalamnya terkandung pemikiran filsafat ideologi politik kebangsaan yang menyerap berbagai pemikiran filosofis, dan mengakui serta menghormati adanya pluralitas budaya, agama, suku, dan bahasa. Pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman itu yang dikukuhkan secara simbolis dalam Bineka Tunggal Ika.

Karena itu, penghapusan pendidikan Pancasila bisa dipandang sebagai deideologisasi yang akan membawa bangsa ini mengalami krisis kebangsaan yang multidimensi dan terjebak dalam kehidupan pragmatis. Pragmatisme akan membuat pendidikan Pancasila antirealitas dan hanya omong kosong, karena apa yang diberikan dalam pendidikan Pancasila sama sekali tidak ada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari.  

Jika pendidikan Pancasila mengajarkan ketuhanan, perilaku yang dijiwai ketuhanan itu tidak tecermin pada perilaku politik yang hanya mengejar kekuasaan dan uang, dan uanglah yang kemudian dipertuhankan. Jika pendidikan Pancasila mengajarkan tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, maka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah perilaku masyarakat yang mencerminkan ketidakadilan dan ketidakberadaban, dengan tindakan premanisme dan konflik kekerasaan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Jika pendidikan Pancasila mengajarkan persatuan Indonesia, persatuan itu hanya slogan, karena dalam mengurus Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) yang harusnya menjunjung tinggi rasa persatuan dan sportivitas, dalam kenyataannya sportivitas itu tidak ada, baik di dalam tubuh organisasinya sendiri maupun di lapangan sepak bolanya. Yang ada adalah perpecahan dan kebrutalan. "Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan" tidak ada lagi, karena membuat keputusan untuk membangun gedung baru DPR RI yang mewah di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyatnya, apalagi keadilan sosial yang terasa masih jauh dari rakyat Indonesia.  

Jika pendidikan Pancasila dalam kenyataannya adalah pendidikan yang antirealitas, apakah Pancasilanya yang salah atau pendidikannya yang salah? Jika Pancasilanya yang salah, pasti tidak mungkin, karena Pancasila ideologi yang telah mendasari adanya kehidupan dan konstitusi NKRI. Jika Pancasilanya yang salah, NKRI yang dibangun di atasnya juga salah. Dan jika pendidikan Pancasila dihapus, cepat atau lambat pastilah akan menghapus eksistensi NKRI itu sendiri.
  
Redesain pendidikan Pancasila
Sesungguhnya, semua cabang keilmuan yang diajarkan dalam lembaga pendidikan di Indonesia akan diaplikasikan dalam kehidupan nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Jadi, Indonesia adalah wilayah aplikatif yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah bangunan keilmuan yang diajarkan di Indonesia, sebagaimana halnya dengan etika bagi suatu ilmu yang mendasari aplikasi dari semua ilmu. Dan, suatu ilmu tanpa aplikasi pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka, seperti pohon tanpa buah.

Jika kita bicara Indonesia dalam konteks ilmu, NKRI adalah suatu negara yang dibangun berdasarkan suatu ideologi Pancasila, sehingga aplikasi ilmu di Indonesia harus menyatu dengan nilai-nilai keindonesiaan, yaitu Pancasila. Akan tetapi, yang terjadi sekarang pendidikan Pancasila tidak diminati oleh banyak peserta didik, karena hanya mengajarkan sesuatu yang kosong belaka, terpisah dari realitas dan menjadi retorika semata, tidak dialogis, kaku, dan doktrinal. Akibatnya, wilayah keindonesiaan tidak menyatu, bahkan terasa asing dalam suatu bangunan keilmuan yang diajarkan di Indonesia. Fenomena inilah yang mengakibatkan pendidikan Pancasila menjadi absurd.

Karena itu, redesain kurikulum pendidikan Pancasila dimaksudkan bagaimana menyatukan keindonesiaan itu dalam setiap cabang keilmuan yang ada, di bidang sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan bahkan agama. Sebagai contoh, ilmu pertanian dalam konteks keindonesiaan adalah bagaimana mengembangkan konsep pertanian kita, sehingga sebagai negara agraris, kita tidak lagi bergantung pada impor produk-produk agraris, apalagi bagi negara yang tanahnya subur. Maka, pengembangan keilmuan pertanian kita mestinya bisa menghentikan ketergantungan kita dari impor produk agraris. Tetapi kenyataannya, bahkan kedele dan pisang pun kita masih impor. Demikian juga berlaku dengan ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.

Dalam konteks keilmuan agama Islam, umpamanya, keindonesiaan harus menyatu dalam setiap kajian-kajian keislaman yang ada. Maka, dalam perspektif keindonesiaan, kemajemukan yang otentik bagi kehidupan Indonesia harus dapat diserap dalam suatu aplikasi keilmuan agama Islam yang ada, sehingga setiap kajian keagamaan Islam yang ada, aplikasinya dapat menghormati adanya realitas kemajemukan Indonesia, agar dapat mewujudkan pesan sentral Islam sebagai rahmat bagi kehidupan semesta.

NKRI ini sesungguhnya memerlukan bangunan keilmuan yang tak terpisahkan dari realitas keindonesiaan, agar pengembangan setiap cabang keilmuan di negeri ini memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia. Semua realitas keindonesiaan, baik nilai-nilai filosofis dan ideologis maupun realitas kehidupan geografis, social, dan budaya harus menjadi bahan utama dari suatu konstruksi keilmuan yang diajarkan di negeri ini sesuai dengan bidangan kajian ilmunya. Sehingga, pengajaran dan pendidikan keilmuan yang ada bukan westernisasi, apalagi arabisasi. Kalau tidak, sarjana kita akan asing dengan negerinya sendiri, dan ini akan menjadi fenomena yang amat memilukan. Dalam konteks keindonesiaan inilah, redesain pendidikan Pancasila yang integratif dengan ilmu dan teknologi menjadi sangat perlu dan strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar