Sabtu, 04 Juni 2011

Reaktualisasi Pancasila [2]

Sabtu, 04 Juni 2011 pukul 08:59:00

Oleh Bacharuddin Jusuf Habibie

Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan, dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis, serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luluhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warga negara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warga negara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Melepas alienasi
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila. Dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat, dan sakral yang justru membuatnya teralienasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih "membumi" sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebagai ilustrasi, misalnya, kalau sila ke lima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini? Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu negara ke negara lain yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke mancanegara sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "Verenigte Oostindische Companie (VOC)" dengan baju baru.

Implementasi sila ke lima untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan itu, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah".

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa pada masa datang sehingga memosisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru, dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam Bumi Pertiwi oleh para founding fathers kita.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung yang dapat menjadi fondasi, perekat, sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar