Jumat, 27 Mei 2011

 
Republika, Selasa, 24 Mei 2011 pukul 10:29:00

Al-Nakbah

Oleh Ahmad Syafii Maarif
Al-Nakbah istilah bahasa Arab, dibaca annakbah dan bermakna malapetaka, bencana, dan yang sejenis itu. Dalam Bahasa Inggris, perkataan holocaust semakna dengan perkataan Arab itu. Bencana yang dialami orang Yahudi di bawah Nazi Hitler selalu saja diulang-ulang oleh Israel untuk menunjukkan bahwa enam juta (banyak yang mempertanyakan angka ini) orang Yahudi di Eropa, telah dibinasakan sebagai perwujudan politik anti-Semitisme Hitler.

Ajaibnya, al-Nakbah adalah malapetaka yang ditimpakan oleh Israel atas rakyat Palestina pada 1948 dan seterusnya. Mereka dihalau dari tempat tinggalnya, dibunuh, hartanya dirampas, dan berlakulah apa yang disebut "pembersihan etnis". Istilah al-Nakbah mungkin pertama kali diciptakan oleh Prof Constantin Zureig dari Universitas Amerika Beirut dalam karyanya Ma'na al-Nakbah (Makna Malapetaka).

Dengan kata lain, kekejaman Hitler justru dibalaskan kepada rakyat Palestina yang tidak ada kaitannya dengan tragedi Yahudi di Eropa itu. Proklamasi berdirinya negara Israel pada 15 Mei 1948 adalah hari bencana dan berkabung bagi Palestina yang pada bulan ini mereka peringati di berbagai bagian dunia. Pada 1948 itu sekitar 750 ribu rakyat Palestina telah dihalau. Mereka kemudian mengungsi ke negara-negara tetangga akibat brutalitas tentara Israel. Tahun 2010, menurut data UNRWA (the United Nations Relief and Works Agency), jumlah pengungsi Palestina sudah membengkak menjadi lima juta manusia, tidak saja di negeri-negeri Arab, bahkan yang tersebar sampai ke Cile sejumlah 500 ribu.

Di Indonesia, malah ada segelintir orang yang buta peta kemanusiaan dengan bahagia memperingati ulang tahun Israel pada 15 Mei yang lalu. Sebagai bagian dari hak kebebasan berekspresi bisa saja itu terjadi, tetapi tuan harap ingat bahwa negara Israel didirikan atas tengkorak dan darah rakyat Palestina. Berekspresi gembira untuk 15 Mei ini sama dengan menyetujui politik pembersihan etnis Palestina oleh Israel yang masih saja berlangsung sampai hari ini. Jika demikian, di mana kemanusiaan kita, di mana hati nurani kita?

Saya yang sejak dua tahun terakhir mengikuti konflik Palestina-Israel ini sudah sampai kepada aksioma bahwa Israel dengan ideologi rasis Zionismenya, tidak akan pernah dapat dipercaya. Beberapa hari yang lalu, Benjamin Netanyahu sangat cemas dengan adanya deklarasi perdamaian Fatah dengan Hamas. Bagi kaum Zionis, yang selalu diupayakan adalah agar kedua faksi Palestina itu saling menghancurkan satu sama lain sehingga Palestina lenyap dari peta bumi. Golda Meir tahun 1969 dengan pongah mengatakan bahwa Palestina itu tidak ada. Jenderal Moshe Dyan mengakui terus terang bahwa berdirinya Israel memang melalui pengusiran rakyat Palestina.

Tetapi, satu hal yang perlu dicamkan adalah rakyat Palestina dengan segala penderitaan yang ditanggungnya tidak mungkin menyerah. Matthias Chang menulis di Global Research (19 Januari 2010) setelah berkunjung ke Jalur Gaza pada Januari 2010. Dia memberikan testimoni berikut ini. "Kaum Zionis di Israel dan di berbagai bagian dunia punya kecemasan dahsyat--cemas akan semangat pantang menyerah, sebuah senjata lebih dahsyat daripada bom nuklir. Palestina dan rakyat Palestina tidak mungkin ditaklukkan dan dikuasai."

Mengapa Israel cemas? Chang dengan mudah menjelaskan:  Israel tidak mungkin bertahan di atas kekuatannya sendiri. Pemimpin-pemimpin Israel, sejak dari David Ben-Gurion sampai kepada Ariel Sharon dan sekarang Benjamin Netanyahu dan Ehud Barak, sadar benar bahwa tanpa dukungan gabungan kekuatan militer dan keuangan tanpa batas dari Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa, Israel tidak pernah mampu melakukan ofensif militer manapun terhadap Palestina. Israel dapat melancarkan kejahatan perang dan berlepas diri darinya karena Amerika Serikat akan melakukan veto atas Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang mengkritik dan/atau mengutuk tindakan-tindakan Israel.

Kita tidak tahu untuk berapa lama lagi negara Zionis ini bisa menanggung kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran dalam mempertahankan proyek antikemanusiaan dan antiperdamaiannya, sebab kedustaan dan kebusukan pasti akan terbongkar, cepat atau lambat. Rakyat Palestina tidak takut dengan 200 hulu nuklir Israel.

Dengan segala kelemahan dan kemiskinannya, semangat juang rakyat Palestina tidak mungkin ditindas dan dipadamkan. Al-Nakbah yang dipaksakan atas dirinya hanyalah akan menjadikan bangsa ini semakin tahan bantingan sejarah. Sekali Amerika dan negara Barat lainnya berlepas tangan atas nasib Israel, negara Zionis itu akan tumbang. Sebuah negara dengan fondasi rasisme dan diskriminasi di atas tanah rampokan tak akan tahan lama!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar